
Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si.
Wartagereja.co.id – Jakarta, Melalui artikel ini penulis akan mengeksplorasi pemikiran Karl Barth dalam relevansinya dengan teologi digital. Perlu ditekankan sejak awal bahwa Karl Barth hidup dan berkarya jauh sebelum era digital modern, sehingga kita tidak akan menemukan kutipan langsung darinya tentang internet, media sosial, atau kecerdasan buatan. Namun, kita dapat mengeksplorasi prinsip-prinsip teologis fundamentalnya dan menerapkannya secara analogis pada tantangan dan peluang yang dihadirkan oleh era digital.
Era digital menghadirkan tantangan sekaligus peluang unik bagi teologi dan kehidupan bergereja. Artikel ini bertujuan untuk menggali relevansi pemikiran teolog besar abad ke-20, Karl Barth, bagi diskursus teologi digital. Meskipun Barth tidak pernah secara eksplisit membahas teknologi digital, prinsip-prinsip teologis intinya—seperti sentralitas Firman Allah yang menyatakan diri dalam Yesus Kristus, kritik terhadap teologi natural dan antropomorfisme, serta konsepsinya tentang gereja sebagai komunitas saksi—memberikan kerangka kerja kritis dan konstruktif untuk menavigasi lanskap teologis di era digital.
Artikel ini akan menganalisis bagaimana penekanan Barth pada kedaulatan Firman Allah dapat menjadi koreksi terhadap potensi pendewaan teknologi atau informasi digital. Selanjutnya, akan dibahas bagaimana pandangannya tentang gereja sebagai komunitas dapat menginformasikan praktik persekutuan Kristen di ruang virtual.
Artikel ini berargumen bahwa pemikiran Barth, meskipun berasal dari konteks pra-digital, tetap vital untuk refleksi teologis yang bertanggung jawab di tengah arus informasi dan interaksi digital saat ini.
Pendahuluan
Revolusi digital telah mengubah secara fundamental cara manusia berkomunikasi, bekerja, bersosialisasi, dan bahkan beriman. Gereja dan teologi tidak luput dari pengaruh transformasi ini. Munculnya “gereja online”, pelayanan digital, komunitas iman virtual, dan penggunaan kecerdasan buatan dalam studi teologi memunculkan pertanyaan-pertanyaan teologis yang mendesak. Di tengah dinamika ini, muncul disiplin refleksi yang dikenal sebagai “teologi digital”, yang berusaha memahami dan menanggapi persimpangan antara iman Kristen dan budaya digital.
Karl Barth (1886-1968), seorang teolog Protestan Swiss, dikenal sebagai salah satu pemikir teologis paling berpengaruh di abad ke-20. Karyanya, terutama Church Dogmatics, menandai pergeseran signifikan dari teologi liberal abad ke-19 dengan kembali menekankan pada kedaulatan Allah, sentralitas Yesus Kristus, dan otoritas Firman Allah yang menyatakan diri. Meskipun konteks pelayanannya adalah Eropa pasca-Perang Dunia I dan II, jauh sebelum internet merajalela, pertanyaan mendasar yang diajukannya tentang siapa Allah, bagaimana manusia mengenal Allah, dan apa artinya menjadi gereja, tetap memiliki relevansi yang tajam.
Artikel ini akan mengeksplorasi bagaimana pemikiran teologis Karl Barth dapat memberikan perspektif kritis dan panduan bagi pengembangan teologi digital yang sehat. Pertanyaan utamanya adalah: Prinsip-prinsip teologis Barthian mana yang relevan untuk memahami dan menanggapi fenomena digital dalam kehidupan beriman? Bagaimana pandangannya dapat membantu kita mengkritisi potensi bahaya dan memanfaatkan peluang era digital secara teologis?
Mari kita bahas bersama :
1. Sentralitas Firman Allah vis-à-vis Informasi Digital Salah satu pilar utama teologi Barth adalah penekanannya pada Firman Allah (Das Wort Gottes) sebagai satu-satunya sumber pengenalan akan Allah yang sejati. Firman ini, menurut Barth, memiliki tiga bentuk: Firman yang Diucapkan (khotbah dan sakramen yang setia), Firman yang Tertulis (Alkitab sebagai saksi utama), dan yang paling fundamental, Firman yang Menjelma (Yesus Kristus sendiri). Allah menyatakan diri-Nya secara aktif dan berdaulat melalui Firman ini; manusia tidak dapat menemukan Allah melalui akal budi, pengalaman religius, atau fenomena alam semata (kritik terhadap teologi natural).
- Relevansi dengan Teologi Digital:
- Kritik terhadap ‘Kebisingan’ Informasi: Era digital ditandai oleh ledakan informasi. Barth kemungkinan besar akan sangat kritis terhadap kecenderungan menyamakan akses informasi (termasuk informasi keagamaan) dengan pengenalan akan Allah. Penekanannya pada Firman sebagai peristiwa di mana Allah secara aktif berbicara dan menyatakan diri-Nya, kontras dengan konsumsi pasif data digital.
- Otoritas Firman vs. Otoritas Algoritma/Manusia: Barth menolak menempatkan otoritas pada akal atau pengalaman manusia di atas Firman Allah. Dalam konteks digital, ini dapat diterjemahkan sebagai kewaspadaan terhadap penyerahan otoritas teologis kepada algoritma, tren media sosial, atau “influencer” digital. Pertanyaannya menjadi: Apakah teknologi digital digunakan sebagai alat untuk mendengar dan menyaksikan Firman Allah yang berdaulat, ataukah teknologi itu sendiri (atau konten yang dihasilkannya) menjadi ‘firman’ baru yang membentuk iman kita?
- Ancaman Idolatry Digital: Barth sangat waspada terhadap penyembahan berhala (idolatry), yaitu menggantikan Allah yang hidup dengan ciptaan. Teknologi digital, dengan segala kemampuannya yang memukau, berpotensi menjadi ‘berhala’ modern jika ia dianggap sebagai sumber keselamatan, kebenaran absolut, atau pengganti perjumpaan otentik dengan Allah dan sesama.
2. Kristosentrisme sebagai Tolok Ukur Teologi Barth secara radikal berpusat pada Yesus Kristus. Kristus adalah Firman Allah yang menjadi manusia, satu-satunya mediator antara Allah dan manusia, dan realitas di mana seluruh ciptaan menemukan makna dan tujuannya. Segala sesuatu dalam teologi dan kehidupan Kristen harus diukur dan dipahami melalui lensa inkarnasi, kematian, dan kebangkitan Kristus.
- Relevansi dengan Teologi Digital:
- Konten Digital yang Kristosentris: Bagaimana kehadiran gereja dan umat Kristen di ruang digital (website, media sosial, podcast, dll.) mencerminkan sentralitas Kristus? Apakah konten yang dibagikan berfokus pada pemberitaan Injil dan kesaksian tentang karya Kristus, atau cenderung pada promosi diri, institusi, atau agenda lain? Barth akan menantang kita untuk memastikan bahwa ‘avatar’ digital kita menunjuk kepada Kristus, bukan kepada diri kita sendiri.
- Menghindari Antropomorfisme Digital: Kritik Barth terhadap teologi liberal yang terlalu berpusat pada manusia (antropomorfisme) relevan di sini. Teknologi digital seringkali dirancang untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Teologi digital yang Barthian akan waspada agar tidak mereduksi Allah menjadi sekadar entitas yang dapat diakses sesuai permintaan melalui aplikasi, atau menyesuaikan pesan Injil agar sesuai dengan selera audiens digital yang berubah-ubah. Fokus harus tetap pada Allah sebagaimana Ia menyatakan diri dalam Kristus.
3. Gereja sebagai Komunitas Saksi di Ruang Digital dan Fisik Bagi Barth, Gereja bukanlah sekadar institusi atau kumpulan individu, melainkan communio sanctorum (persekutuan orang kudus) yang dipanggil bersama oleh Firman Allah untuk menjadi saksi Yesus Kristus di dunia.
Persekutuan ini bersifat konkret, melibatkan pertemuan, ibadah bersama, pelayanan, dan kesaksian hidup.
- Relevansi dengan Teologi Digital:
- Hakikat Komunitas Online: Barth mungkin akan mempertanyakan apakah komunitas yang sepenuhnya virtual dapat memenuhi panggilan gereja secara utuh. Penekanannya pada aspek komunal dan kesaksian yang melibatkan seluruh keberadaan (termasuk fisik/kehadiran bersama) menimbulkan pertanyaan tentang kedalaman dan otentisitas persekutuan yang hanya termediasi layar. Dapatkah persekutuan digital menjadi tambahan atau perluasan dari komunitas fisik, bukan penggantinya?
- Kesaksian di Ruang Digital: Di sisi lain, penekanan Barth pada gereja sebagai komunitas saksi dapat dilihat sebagai mandat untuk memanfaatkan platform digital. Ruang digital adalah ‘dunia’ tempat gereja dipanggil untuk bersaksi tentang Kristus. Namun, kesaksian ini harus dilakukan dengan cara yang sesuai dengan Injil – bukan dengan agresi atau demi popularitas, melainkan dengan kerendahan hati dan integritas, mencerminkan karakter Kristus.
- Tantangan Disembodiment: Era digital seringkali mengarah pada ‘disembodiment’ (keterpisahan dari tubuh fisik). Teologi Barth, yang sangat menekankan Inkarnasi (Allah menjadi daging dalam Kristus), akan mengingatkan kita akan pentingnya aspek fisik dan kehadiran dalam iman Kristen – mulai dari perjumpaan tatap muka hingga makna sakramen yang melibatkan elemen fisik. Ini menjadi tantangan bagi praktik gerejawi yang semakin bergeser ke ranah virtual.
4. Kritik terhadap Optimisme Teknologi sebagai Teologi Natural Baru Barth terkenal dengan kritiknya yang tajam terhadap “teologi natural” – upaya untuk mengenal Allah melalui akal budi, alam, atau sejarah manusia semata, terlepas dari pewahyuan khusus dalam Kristus. Ia melihat ini sebagai bentuk kesombongan manusia yang berusaha mengontrol atau memahami Allah dengan caranya sendiri.
- Relevansi dengan Teologi Digital:
- Teknologi sebagai Sumber ‘Pewahyuan’? Ada bahaya bahwa kemajuan teknologi, termasuk kecerdasan buatan (AI) yang mampu memproses data teologis dalam jumlah besar, bisa secara implisit dianggap sebagai sumber baru untuk ‘mengenal’ Allah atau ‘memecahkan’ misteri iman. Barth akan menolak keras gagasan ini, menegaskan kembali bahwa pengenalan akan Allah hanya datang melalui anugerah dan inisiatif Allah sendiri dalam Kristus, yang disaksikan oleh Alkitab dan diberitakan oleh Gereja.
- Melawan ‘Keselamatan Teknologis’: Optimisme berlebihan terhadap kemampuan teknologi untuk menyelesaikan masalah manusia (bahkan masalah spiritual) dapat dilihat sebagai bentuk baru dari kepercayaan pada kemampuan manusia yang dikritik Barth. Teologi Barthian mengingatkan bahwa solusi fundamental bagi kondisi manusia bukanlah kemajuan teknologi, melainkan anugerah Allah dalam Kristus.
Pokok Pikiran Karl Barth yang Relevan dengan Konteks Era Digital Saat Ini
Merangkum poin-poin di atas, beberapa pokok pikiran Barth yang sangat relevan adalah:
- Primacy Firman Allah: Penegasan bahwa sumber utama pengenalan Allah dan otoritas teologis adalah Firman Allah yang menyatakan diri (Kristus, Alkitab, pemberitaan yang setia), bukan informasi digital, algoritma, atau opini populer online.
- Kristosentrisme Radikal: Menjadikan Yesus Kristus sebagai pusat dan tolok ukur segala refleksi dan praktik teologis di era digital, menghindari fokus pada manusia (antropomorfisme) atau pendewaan teknologi.
- Kritik terhadap Teologi Natural (dalam Bentuk Baru): Kewaspadaan terhadap kecenderungan mengandalkan kemampuan teknologi atau akal manusia digital sebagai jalan menuju pengenalan Allah, yang mengabaikan keunikan dan kedaulatan pewahyuan Allah dalam Kristus.
- Konsep Gereja sebagai Komunitas Saksi: Mendorong refleksi kritis tentang bagaimana komunitas Kristen dapat hidup secara otentik dan menjalankan misi kesaksiannya di tengah mediasi teknologi, sambil mempertanyakan batas-batas persekutuan virtual versus persekutuan yang melibatkan kehadiran fisik.
- Penolakan terhadap Idolatry: Mengingatkan bahaya menjadikan teknologi, data, atau popularitas digital sebagai berhala pengganti Allah yang hidup.
Akhir kata penulis mencoba untuk mengambil kesimpulan sebagai berikut :
Karl Barth tidak memberikan peta jalan eksplisit untuk teologi digital. Namun, teologi dialektisnya yang kuat, yang berpusat pada Firman Allah yang menyatakan diri dalam Yesus Kristus, menawarkan lensa kritis yang sangat dibutuhkan di era digital. Pemikirannya menantang kita untuk terus-menerus bertanya: Apakah penggunaan teknologi digital dalam kehidupan beriman kita menunjuk kepada Kristus dan Firman-Nya yang berdaulat, ataukah justru mengaburkan-Nya dengan kebisingan informasi dan pemujaan terhadap kemampuan manusia?
Dalam menghadapi arus digitalisasi, warisan teologis Barth mendorong gereja dan teolog untuk:
- Menjaga sentralitas dan otoritas Firman Allah di atas segala bentuk informasi atau teknologi.
- Memastikan bahwa Kristus tetap menjadi pusat pemberitaan dan kehidupan bergereja, baik online maupun offline.
- Mengembangkan komunitas iman yang otentik, yang menggunakan teknologi sebagai sarana kesaksian dan persekutuan, tanpa mengorbankan kedalaman relasi dan makna kehadiran fisik.
- Mempertahankan sikap kritis terhadap optimisme teknologi yang berlebihan, mengingatkan bahwa keselamatan sejati hanya ditemukan dalam anugerah Allah melalui Yesus Kristus.
Dengan demikian, meskipun berasal dari abad yang lalu, suara kenabian Karl Barth tetap bergema, memanggil kita pada ketundukan yang rendah hati di hadapan Firman Allah di tengah derasnya arus zaman digital.
Daftar Pustaka (Referensi Buku)
Untuk mendalami pemikiran Karl Barth secara langsung, karya-karya utamanya (meskipun tebal dan menantang) adalah sumber terbaik:
- Barth, Karl. Church Dogmatics. (Terdiri dari beberapa volume, ini adalah magnum opus Barth yang membahas doktrin-doktrin utama secara mendalam. Bagian-bagian awal tentang Firman Allah, Pewahyuan, dan Tritunggal sangat fundamental).
- Contoh spesifik yang relevan: Volume I/1 (“The Doctrine of the Word of God, Prolegomena to Church Dogmatics”) sangat krusial untuk memahami fondasi teologinya tentang Firman.
- Barth, Karl. The Epistle to the Romans (Der Römerbrief). (Karya awal yang menandai perpisahannya dengan teologi liberal dan menekankan kedaulatan Allah serta keterputusan antara Allah dan manusia).
- Barth, Karl. The Word of God and the Word of Man (Das Wort Gottes und die Theologie). (Kumpulan esai dan ceramah yang menjelaskan pandangannya tentang Firman Allah, teologi, dan khotbah).
- Barth, Karl. Evangelical Theology: An Introduction. (Pengantar yang lebih mudah diakses untuk pemikiran teologisnya secara umum).
Untuk konteks penerapan atau pemahaman lebih lanjut (sumber sekunder):
- Busch, Eberhard. Karl Barth: His Life from Letters and Autobiographical Texts. (Biografi standar yang memberikan konteks hidup dan pemikirannya).
- Webster, John. Barth’s Ethics of Reconciliation. (Meskipun fokus pada etika, buku ini menunjukkan bagaimana teologi Barth diterapkan pada kehidupan praktis, yang bisa dianalogikan ke konteks digital).
- Hunsinger, George. How to Read Karl Barth: The Shape of His Theology. (Panduan yang baik untuk memahami struktur dan tema utama dalam pemikiran Barth).
- Kata Kunci: Karl Barth, Teologi Digital, Firman Allah, Kristosentrisme, Gereja, Teknologi, Era Digital, Kritik Teologi.
Catatan: Belum banyak buku spesifik yang secara mendalam membahas “Karl Barth dan Teologi Digital”. Referensi di atas adalah fondasi untuk memahami Barth, yang kemudian dapat Kita terapkan pada isu-isu digital. Kita masih perlu mencari artikel-artikel jurnal teologi kontemporer yang mulai melakukan eksplorasi ini.