
Sejarah Gereja Kristen Jawa
Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si.
Wartagereja.co.id – Jakarta, Artikel ini menyajikan analisis mendalam mengenai sejarah Gereja Kristen Jawa (GKJ), salah satu denominasi Protestan terkemuka di Indonesia. Pembahasan dimulai dengan menelusuri akar pekabaran Injil di Tanah Jawa sejak abad ke-19, melibatkan peran zending Belanda dan penginjil awam pribumi, serta pembentukan jemaat-jemaat pra-sinode yang bersifat organik.
Artikel ini juga menguraikan identitas teologis GKJ yang berakar pada Calvinisme dan sistem pemerintahan Presbiterial Sinodal yang adaptif. Secara khusus, akan dianalisis persinggungan kompleks antara budaya Eropa dan Jawa, yang menghasilkan inkulturasi unik seperti yang dicontohkan oleh Kiai Sadrach, serta kontribusi GKJ dalam bidang pendidikan dan kesehatan di era kolonial.
Puncak dari proses ini adalah pembentukan Sinode GKJ pada 17 Februari 1931, yang menandai kemandirian institusional gereja. Selanjutnya, artikel ini mengkaji struktur jemaat dan klasis saat ini, peran GKJ dalam pelestarian budaya Indonesia, hubungannya dengan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) dan gereja-gereja lain, serta kontribusinya dalam gerakan oikoumene nasional.
Terakhir, adaptasi dan inovasi GKJ di era digital akan dibahas, menyoroti relevansinya di tengah perubahan zaman.
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang dan Signifikansi Sejarah Gereja Kristen Jawa
Gereja Kristen Jawa (GKJ) merupakan salah satu denominasi Protestan terbesar dan paling signifikan di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaannya tidak hanya mencerminkan sejarah pekabaran Injil di Nusantara tetapi juga dinamika kompleks antara iman Kristen, budaya Jawa, dan konteks kolonial. GKJ memiliki identitas unik sebagai “gereja suku” yang secara aktif memelihara dan mengintegrasikan kebudayaan Jawa dalam praktik keagamaannya, membedakannya dari banyak gereja lain di Indonesia.1 Identitas ini tercermin dalam penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar dalam liturgi dan pekabaran Injil, serta filosofi Jawa “Hamemayu Hayuning Bhawana” yang menjadi bagian dari identitas gereja.1
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis secara mendalam perjalanan historis GKJ, dari akar pekabaran Injil hingga perannya di era kontemporer, dengan fokus pada aspek teologis, organisasional, kultural, dan ekumenis. Studi ini akan memberikan gambaran komprehensif tentang bagaimana GKJ tumbuh dan berkembang di tengah berbagai tantangan dan peluang, serta bagaimana ia membentuk identitasnya yang khas di tengah pluralisme budaya dan agama di Indonesia.
B. Metodologi dan Ruang Lingkup Artikel
Artikel ini menggunakan pendekatan historis-teologis untuk menelusuri perkembangan GKJ, mengintegrasikan data dari berbagai sumber primer dan sekunder yang tersedia. Pendekatan ini memungkinkan analisis yang mendalam terhadap peristiwa-peristiwa kunci, tokoh-tokoh penting, serta pergeseran teologis dan organisasional yang membentuk GKJ.
Ruang lingkup pembahasan mencakup periode pra-sinode, pembentukan sinode, konsolidasi, pertumbuhan di tengah lingkungan kolonial, interaksi budaya, struktur kelembagaan, serta kontribusi GKJ dalam konteks nasional dan global, termasuk adaptasinya di era digital.
Analisis akan berfokus pada bagaimana GKJ mempertahankan identitasnya sambil terus beradaptasi dengan perubahan sosial, politik, dan teknologi.
II. Akar Pekabaran Injil di Tanah Jawa dan Pembentukan Jemaat Pra-Sinode
A. Peran Zending Belanda dan Penginjil Awam Pribumi
Pekabaran Injil di Tanah Jawa pada awalnya tidak dapat dipisahkan dari peran misionaris yang diutus oleh badan-badan zending dari Belanda. Lembaga-lembaga seperti Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG), Nederlandse Gereformeerde Zendingsvereneging (NGZV), dan Zending Gereformeerde Kerken (ZGK) membawa corak teologis Gereformeerd yang kemudian menjadi fondasi bagi Gereja Kristen Jawa.3 Para misionaris ini memperkenalkan ajaran Kristen Protestan yang berakar pada tradisi Calvinis, meletakkan dasar doktrinal bagi jemaat-jemaat yang akan terbentuk.
Namun, penyebaran Injil di Jawa tidak hanya bergantung pada misionaris formal. Sejarah mencatat peran signifikan dari orang-orang awam berkebangsaan Belanda yang bekerja di berbagai sektor, seperti perkebunan atau sebagai pengusaha, yang juga turut mengabarkan Injil. Tokoh-tokoh penting dalam kategori ini termasuk Johanes Emde di Surabaya, Coenraad Laurens Coolen di Ngoro, Ny. Van Oostrom Philips di Banyumas, Ny. Christina Petronela Philips Stevens di Purworejo, Mr. F.L. Anthing di Jakarta, A.A.M.N. Keuchenius di Tegal, Stegerhoek di Sala, dan D.D. Le Jolle di Nyemoh.3 Mereka menggunakan metode yang lebih personal dan kontekstual. Sebagai contoh, Ny. Van Oostrom Philips, seorang pengusaha batik-tulis, mengabarkan Injil kepada buruh pribuminya melalui metode bercerita. Pendekatan ini kemudian melahirkan orang-orang Kristen baru dan membentuk kelompok “gereja rumah tangga”.3 Demikian pula, Ny. Christina Petronela Philips Stevens menginjili para pembantu rumah tangganya, yang kemudian menjadi komunitas Kristen awal di Purworejo.3 Selain itu, upaya penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Jawa oleh Pendeta Brucker juga menjadi tonggak penting dalam upaya pekabaran Injil yang lebih kontekstual dan mudah diakses oleh masyarakat lokal.3
Penyebaran Injil yang dilakukan oleh individu-individu awam ini, yang seringkali berinteraksi langsung dalam lingkungan kerja dan rumah tangga, menunjukkan bahwa Kekristenan di Jawa berakar secara organik dan bersifat “bottom-up.” Berbeda dengan model misi yang mungkin lebih terpusat dan institusional, penyebaran melalui jaringan sosial yang ada memungkinkan Kekristenan untuk menyatu lebih dalam dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Hal ini juga menyoroti peran aktif dari para penginjil awam dan penerima Injil dalam membentuk komunitas Kristen awal, yang pada akhirnya berkontribusi pada identitas GKJ yang kuat dengan budaya Jawa di kemudian hari.
B. Perkembangan Komunitas Kristen Awal dan “Gereja Rumah Tangga”
Kelompok-kelompok Kristen awal ini sering kali berkumpul dalam format “gereja rumah tangga,” yang menjadi unit dasar persekutuan. Contohnya adalah kelompok yang dibimbing oleh Ny. Philips.3 Di Surakarta, komunitas Kristen bermula dari rumah bengkel pertukangan Tuan Stegerhoek. Di sana, Bapak Iskak Karsa melanjutkan pelayanan rohani dan memperluas jadwal kebaktian ke rumah-rumah para pengikutnya, menunjukkan semangat penginjilan yang hebat.4
Fokus pada “gereja rumah tangga” sebagai unit dasar komunitas Kristen awal menunjukkan model misi yang sangat fleksibel dan desentralisasi. Pendekatan ini memungkinkan adaptasi cepat terhadap kondisi lokal dan meminimalkan ketergantungan pada infrastruktur formal yang mungkin sulit dibangun di masa kolonial. Model ini tidak hanya memfasilitasi penyebaran Injil di tengah keterbatasan sumber daya dan potensi resistensi kolonial, tetapi juga membentuk fondasi komunitas yang kuat dan mandiri secara lokal. Ini adalah cikal bakal penting bagi sistem presbiterial yang kemudian menjadi ciri khas GKJ, di mana jemaat lokal memiliki otonomi yang signifikan.
C. Gereja-Gereja Lokal Perintis: Studi Kasus GKJ Margoyudan dan Purworejo
Komunitas-komunitas Kristen awal ini secara bertahap berkembang menjadi gereja-gereja lokal yang lebih formal. GKJ Margoyudan di Surakarta, yang berawal dari rumah Tuan Stegerhoek, diakui sebagai gereja tertua di Surakarta dan mengilhami perkembangan komunitas Kristen Jawa di wilayah sekitarnya seperti Sragen, Wonogiri, Delanggu, Kartasura, dan Karanganyar.4 Penerimaan GKJ Margoyudan yang kuat di komunitas yang lebih luas sebagian besar disebabkan oleh peran sosial gereja dalam bidang pendidikan dan kesehatan yang telah dilakukan sejak lama.1
Data menunjukkan bahwa pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan merupakan faktor kunci dalam penerimaan dan pertumbuhan gereja-gereja Kristen Jawa. Ini bukan hanya tindakan filantropis, tetapi strategi misi yang efektif. Misalnya, Dr. Scheurer di Surakarta awalnya hanya diizinkan membuka rumah sakit, bukan menyebarkan Injil, namun Rumah Sakit Zending Jebres tetap berhasil didirikan.4 Permintaan masyarakat untuk sekolah Kristen pada awal abad ke-20 juga menunjukkan bahwa layanan ini sangat dibutuhkan dan dihargai.4 Kontribusi ini tidak hanya memperluas jangkauan Injil tetapi juga secara fundamental mengubah lanskap sosial masyarakat Jawa. Dengan menyediakan akses ke literasi dan perawatan medis modern, gereja menjadi agen modernisasi dan pembangunan sosial, yang pada gilirannya memperkuat legitimasi dan relevansi GKJ dalam masyarakat yang lebih luas, melampaui batas-batas keagamaan.
GKJ Purworejo didewasakan pada tanggal 4 Februari 1900, menjadikannya salah satu GKJ tertua dalam Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa.5 Pada tahun 1926, telah ada 17 gereja dewasa di Jawa Tengah bagian selatan yang dikenal sebagai Pasamoean Kristen (Jawa) Gereformeerd.6 Pertemuan gereja dewasa di Purworejo pada Juli 1927, yang melibatkan gereja-gereja seperti Purworejo, Temon, Tlepok, Kesingi, dan Palihan, menunjukkan upaya awal untuk menguatkan dan memandirikan gereja-gereja ini.6
III. Identitas Teologis dan Eklesiologi GKJ
A. Pengaruh Aliran Calvinis dalam Ajaran dan Praktik GKJ
Gereja Kristen Jawa (GKJ) secara fundamental menganut aliran Calvinis.3 Pandangan Yohanes Calvin mengenai gereja dan pemerintahannya menjadi acuan utama dalam membangun eklesiologi GKJ.3 Akar teologis ini berasal dari gereja-gereja presbiterial di Belanda yang mengutus zending ke Indonesia, yang memang berorientasi pada pengajaran Calvin.3 Hal ini membentuk fondasi doktrinal GKJ yang menekankan kedaulatan Allah atas segala sesuatu, disiplin gerejawi, dan pentingnya khotbah Firman Tuhan.
Penegasan bahwa GKJ beraliran Calvinis dan menjadikan pandangan Calvin sebagai acuan eklesiologinya menunjukkan bahwa identitas teologis ini bukanlah kebetulan atau adopsi semata, melainkan warisan yang disengaja dari zending Belanda. Ini mengindikasikan komitmen yang kuat terhadap tradisi Reformed. Adopsi ajaran Calvinis ini membentuk kerangka doktrinal dan etika GKJ, memengaruhi cara gereja memahami dirinya sendiri, pelayanannya, dan perannya di dunia. Ini juga menjelaskan penekanan pada khotbah dan disiplin gerejawi yang terlihat dalam praktik GKJ, serta fondasi bagi sistem pemerintahan presbiterial sinodal yang dianutnya.
B. Sistem Pemerintahan Presbiterial Sinodal: Konsep dan Implementasi
GKJ menganut sistem pemerintahan Presbiterial Sinodal, sebuah model yang umum di banyak gereja di Indonesia. Sistem ini merupakan perpaduan antara bentuk presbiterial, yang menekankan wewenang majelis jemaat setempat atau presbiteros, dan bentuk sinodal, yang menekankan sinode sebagai keseluruhan gereja.7 Model ini menekankan dua segi: pertama, jemaat setempat adalah bagian mutlak dari Gereja secara keseluruhan; kedua, Gereja sebagai keseluruhan memiliki kenyataan dalam jemaat-jemaat setempat.7 Meskipun demikian, secara historis, bentuk Presbiterial Sinodal di GKJ lebih menekankan aspek Presbiterial, yaitu otonomi jemaat setempat.7
Namun, pada tahun 1934, terjadi perubahan kecil dalam Tata Gereja di mana penekanan bergeser dari Presbiterial ke Sinodal. Perubahan ini disebabkan oleh melemahnya kondisi gereja-gereja setempat karena ketiadaan pendampingan dari pendeta utusan zending yang sebelumnya menjadi sandaran.6 Pergeseran ini menunjukkan kematangan organisasional GKJ dalam merespons tantangan. Ini bukan hanya perubahan struktural, tetapi refleksi dari kebutuhan untuk menyeimbangkan otonomi lokal dengan kebutuhan akan dukungan, koordinasi, dan kepemimpinan yang lebih kuat dari tingkat sinode untuk memastikan kelangsungan hidup dan pertumbuhan gereja secara keseluruhan. Ini adalah contoh bagaimana eklesiologi dapat berevolusi secara pragmatis demi misi gereja.
C. Struktur Jemaat, Klasis, dan Sinode
Struktur organisasi GKJ secara umum terdiri dari tiga jenjang yang saling berkaitan: Jemaat, Klasis, dan Sinode.7
- Jemaat: Merupakan lingkup pelayanan paling dasar dalam GKJ. Setiap jemaat dipimpin oleh Majelis Jemaat yang anggotanya terdiri dari semua pejabat gerejawi, termasuk penatua dan pendeta.7 Jemaat adalah tempat di mana kehidupan bergereja sehari-hari berlangsung, mencakup ibadah, pelayanan pastoral, persekutuan, dan berbagai kegiatan rohani serta sosial di tingkat lokal.
- Klasis: Beberapa jemaat yang berada dalam satu wilayah geografis atau daerah yang sama membentuk satu organ yang disebut Klasis.8 Klasis dipimpin oleh Ketua Klasis 8 dan berfungsi sebagai wadah kebersamaan serta koordinasi antarjemaat di tingkat regional. Klasis berperan dalam mengawasi, mendukung, dan menangani isu-isu yang bersifat regional di antara jemaat-jemaat anggotanya.
- Sinode: Merupakan lingkup organisasi gereja terluas, terdiri dari klasis-klasis.7 Sinode dipimpin oleh Majelis Sinode 7 dan merupakan lembaga yang tercatat secara resmi di pemerintahan.3 Sinode GKJ saat ini mencakup 346 gereja yang terhimpun dalam 32 klasis dan tersebar di 6 provinsi di Pulau Jawa, yaitu Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten.9 Badan Pelaksana Sinode (BAPELSIN) dan Badan Pengawas Sinode (BAWASIN) XXIX GKJ (periode pelayanan 2023-2027) memiliki struktur yang terperinci dengan berbagai bidang seperti Keesaan, Visitasi, Kesaksian dan Pelayanan, Pembinaan Warga Gereja, dan Pengembangan Kepemimpinan.10 Hal ini menunjukkan spesialisasi dalam pelayanan sinodal untuk memastikan tata kelola yang efektif dan responsif terhadap kebutuhan gereja secara keseluruhan.
IV. GKJ dalam Lingkungan Kolonial dan Dinamika Budaya Jawa
A. Pertumbuhan Gereja di Bawah Naungan Kolonialisme
Kehadiran GKJ sebagai “buah pekabaran Injil oleh zending” tidak terlepas dari masa pemerintahan kolonial.3 Meskipun demikian, hubungan antara misi dan pemerintah kolonial seringkali kompleks dan tidak selalu harmonis. Kepentingan utama pemerintah kolonial lebih pada perdagangan dan stabilitas politik, bukan konversi agama secara massal.
Ada kasus di mana pemerintah kolonial secara eksplisit melarang penyebaran Injil secara langsung, seperti yang terjadi pada zendeling di Karesidenan Banyumas.11 Demikian pula, Dr. Scheurer di Surakarta hanya diizinkan untuk membuka rumah sakit, bukan menyebarkan Injil, meskipun pada akhirnya Rumah Sakit Zending Jebres berhasil didirikan.4 Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan GKJ tidak semata-mata merupakan produk dari dukungan kolonial, melainkan seringkali terjadi melalui negosiasi dan adaptasi terhadap batasan yang diberlakukan. Kondisi ini mungkin mendorong para penginjil dan jemaat awal untuk lebih mandiri dan mencari cara-cara kontekstual untuk menyebarkan Injil, yang pada akhirnya memperkuat akar pribumi gereja.
B. Persinggungan dan Akulturasi Budaya Eropa-Jawa: Kasus Kiai Sadrach
Salah satu figur paling menonjol dalam persinggungan budaya Eropa dan Jawa adalah Kiai Sadrach (lahir sekitar 1835 – meninggal 1924), seorang penginjil pribumi yang disegani di tanah Jawa, yang sebelumnya adalah seorang muslim.12 Kiai Sadrach mendirikan Gereja Karangjoso di Purworejo pada tahun 1871, yang menjadi contoh nyata akulturasi budaya Kristen dan Jawa.13 Struktur bangunannya memiliki nuansa Jawa, seperti atap bertingkat tiga yang menyerupai masjid dan penggunaan senjata “cakra” di puncak salib sebagai pengganti simbol Kristen tradisional seperti “bulan dan bintang”.13 Kesenian Jawa juga dimainkan dalam peribadatan, menunjukkan integrasi yang mendalam. Kiai Sadrach bahkan menyebut tempat ibadahnya sebagai “masjidnya orang Kristen,” sebuah ungkapan yang mencerminkan upaya sinkretisme dan kontekstualisasi.13
Sadrach mengajarkan konsep “Kristen yang merdeka,” yang terbebas dari aturan-aturan zending Belanda dan menggunakan tata cara kejawen. Pendekatan ini seringkali dianggap “sesat” oleh orang Belanda karena dianggap “klenik”.13 Hal ini menunjukkan ketegangan antara upaya indigenisasi yang kuat dari pihak pribumi dan norma-norma misionaris Barat yang cenderung eurosentris. Fakta bahwa foto Sadrach yang duduk sejajar dengan Jacob Wilhem (seorang Belanda) dibredel di Belanda karena dianggap melecehkan 13 menunjukkan adanya resistensi kolonial terhadap kesetaraan dan kepemimpinan pribumi yang kuat.
Kisah Kiai Sadrach secara jelas menunjukkan bahwa proses Kristenisasi di Jawa tidak hanya merupakan penerimaan pasif ajaran Eropa, tetapi juga melibatkan agensi kuat dari tokoh pribumi. Sadrach secara aktif mengintegrasikan unsur-unsur budaya Jawa (arsitektur, seni, kejawen) dan bahkan menciptakan narasi “Kristen yang merdeka” yang menentang dominasi zending Belanda. Reaksi Belanda yang menganggapnya “sesat” dan menyensor fotonya adalah bukti nyata dari ketegangan dan resistensi terhadap indigenisasi yang kuat. Fenomena Kiai Sadrach adalah kunci untuk memahami bagaimana Kekristenan di Jawa menjadi “Jawa” dan bukan sekadar “di Jawa.” Upaya akulturasi ini, meskipun seringkali kontroversial di mata misionaris, sangat penting untuk penerimaan dan pengakaran iman Kristen di masyarakat lokal. Ini menunjukkan bahwa identitas GKJ yang kuat dengan budaya Jawa adalah hasil dari perjuangan dan adaptasi yang dinamis, bukan sekadar warisan pasif.
C. Kontribusi GKJ dalam Bidang Pendidikan dan Kesehatan
Sejak awal, pekabaran Injil di Jawa, seperti halnya di Minahasa 14, seringkali disertai dengan pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan. GKJ Margoyudan, misalnya, diterima secara luas di masyarakat karena peran sosialnya dalam kedua bidang ini.1 Kontribusi ini tidak hanya memperluas jangkauan Injil tetapi juga secara fundamental mengubah lanskap sosial masyarakat Jawa.
Pada awal abad ke-20, setelah diberlakukannya Politik Etis, muncul desakan kuat dari masyarakat Surakarta untuk membangun sekolah Kristen.4 Pendirian Rumah Sakit Zending Jebres juga merupakan bagian dari kontribusi ini.4 Data secara konsisten menunjukkan bahwa pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan merupakan faktor kunci dalam penerimaan dan pertumbuhan gereja-gereja Kristen Jawa. Ini bukan hanya amal, tetapi strategi misi yang efektif. Dengan menyediakan akses ke literasi dan perawatan medis modern, gereja menjadi agen modernisasi dan pembangunan sosial, yang pada gilirannya memperkuat legitimasi dan relevansi GKJ dalam masyarakat yang lebih luas, melampaui batas-batas keagamaan.
V. Pembentukan dan Konsolidasi Sinode GKJ
A. Proses Menuju Kemandirian Gereja-Gereja Jawa
Pada tahun 1926, terdapat 17 gereja dewasa di Jawa Tengah bagian selatan yang dikenal sebagai Pasamoean Kristen (Jawa) Gereformeerd.6 Gereja-gereja ini pada dasarnya adalah “gereja cangkoan” (cabang) dari Gereja di Belanda, dengan tata ibadah yang sangat menekankan khotbah dibandingkan puji-pujian.6 Namun, ada kritik bahwa dalam proses ini, “segala hal yang berbau Jawa menjadi hilang dan tidak ada dalam kehidupan gereja,” yang menyebabkan Pasamoean Kristen Jawa Gereformeerd “tercabut dari akar budayanya”.6 Hal ini mengindikasikan krisis identitas yang mendalam, di mana model “gereja cangkoan” yang diimpor dari Belanda tidak sepenuhnya berkelanjutan atau relevan bagi konteks Jawa.
Krisis identitas ini memicu kebutuhan akan kemandirian dan identitas yang lebih pribumi. Pada Juli 1927, pertemuan gereja dewasa di Purworejo, yang dihadiri oleh perwakilan dari Purworejo, Temon, Tlepok, Kesingi, dan Palihan, menjadi forum penting di mana Ds. S. Wirtatenaja mengajukan konsep langkah-langkah untuk memperkuat dan memandirikan gereja-gereja di Jawa.6 Kebutuhan untuk “memperkuat dan memandirikan gereja” ini adalah respons langsung terhadap masalah hilangnya akar budaya. Krisis identitas ini menjadi pendorong kuat bagi gereja-gereja di Jawa untuk bersatu dan membentuk sinode yang mandiri. Pembentukan sinode bukan hanya langkah administratif, tetapi juga deklarasi teologis dan kultural untuk menegaskan identitas Kristen Jawa yang otentik, yang mampu mengintegrasikan iman Reformed dengan kekayaan budaya lokal. Ini adalah langkah penting menuju dekolonisasi gereja.
B. Deklarasi Sinode GKJ pada 17 Februari 1931
Puncak dari upaya kemandirian dan konsolidasi ini adalah pembentukan Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa (GKJ) pada tanggal 17 Februari 1931.3 Sidang Sinode perdana ini diadakan di Kebumen.6 Pada saat pembentukannya, GKJ terdiri dari sekitar 307 hingga 346 gereja yang terhimpun dalam 32 klasis.9 Tanggal ini menjadi hari jadi resmi GKJ. Pembentukan Sinode GKJ pada 17 Februari 1931 setelah bertahun-tahun perkembangan gereja-gereja lokal adalah momen krusial. Ini bukan hanya penggabungan administratif, tetapi deklarasi bahwa gereja-gereja di Jawa telah mencapai tingkat kematangan yang cukup untuk mengatur diri sendiri secara teologis dan organisasional, tanpa lagi bergantung sepenuhnya pada zending asing. Peristiwa ini menandai transisi penting dari gereja-gereja misi menjadi gereja pribumi yang mandiri, menunjukkan kapasitas kepemimpinan lokal yang berkembang dan kesadaran kolektif untuk membentuk identitas denominasional yang koheren di tengah keragaman jemaat-jemaat yang telah terbentuk.
C. Perkembangan dan Perluasan Sinode Pasca-Pembentukan
Setelah pembentukan sinode, GKJ terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan tantangan dan kebutuhan zaman. Pada tahun 1934, diputuskan untuk menunjuk “Deputat” untuk menindaklanjuti keputusan sinode di luar waktu persidangan 6, yang menunjukkan upaya untuk memperkuat efektivitas sinode dalam menjalankan keputusan-keputusan penting.
Pada tahun yang sama, terjadi perubahan dalam Tata Gereja di mana penekanan bergeser dari Presbiterial ke Sinodal.6 Pergeseran ini terjadi karena kondisi gereja-gereja setempat yang melemah akibat tidak adanya pendampingan pendeta utusan zending, yang sebelumnya menjadi sandaran utama.6 Langkah pragmatis ini diambil untuk memastikan stabilitas dan dukungan bagi jemaat-jemaat lokal yang mungkin kesulitan berdiri sendiri pasca-zending. Saat ini, GKJ telah berkembang menjadi 346 gereja yang tersebar di 32 klasis di 6 provinsi di Pulau Jawa, termasuk Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten.9
VI. Peran GKJ dalam Konteks Nasional dan Gerakan Oikoumene
A. GKJ sebagai Gereja Suku dan Pelestarian Budaya Jawa (e.g., Perayaan Undhuh-Undhuh)
GKJ dengan bangga mengidentifikasi dirinya sebagai “Gereja Kristen Jawa dan bukan Gereja Kristen di Jawa”.2 Pernyataan ini bukan sekadar penamaan geografis, melainkan deklarasi teologis dan kultural yang mendalam, yang berarti gereja ini secara aktif memelihara, melestarikan, dan mengembangkan budaya Jawa sebagai akarnya.2 Filosofi Jawa “Hamemayu Hayuning Bhawana” bahkan menjadi bagian dari identitasnya.1 Identitas ini tercermin dalam penggunaan bahasa Jawa dalam pekabaran Injil dan liturgi.1
Salah satu contoh paling nyata dari akulturasi budaya ini adalah perayaan “Undhuh-Undhuh” di gereja-gereja lokal seperti GKJ Purwokerto.17 Perayaan ini, yang merupakan ungkapan rasa syukur atas hasil panen, dilaksanakan dengan prosesi arak-arakan, diiringi alat musik tradisional, dan jemaat mengenakan pakaian daerah.17 Hasil bumi atau natura yang dipersembahkan kemudian dibagi kepada sesama, mewujudkan nilai-nilai berbagi dan kerukunan. Perayaan Undhuh-Undhuh tidak hanya menjadi media mempertahankan kearifan lokal tetapi juga sarana komunikasi multikultural yang membangun kerukunan lintas iman di tengah masyarakat yang beragam.17 Inkulturasi yang kuat ini tidak hanya memperkaya ekspresi iman GKJ tetapi juga memberikannya legitimasi dan relevansi yang lebih besar dalam masyarakat Jawa. Dengan merangkul dan melestarikan budaya lokal, GKJ mampu membangun jembatan dengan komunitas lintas iman, mempromosikan kerukunan melalui nilai-nilai budaya yang sama. Ini menunjukkan bahwa identitas “gereja suku” GKJ adalah aset strategis dalam konteks pluralisme Indonesia.
B. Hubungan dengan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) dan Gereja-Gereja Lain
GKJ memiliki hubungan historis dan teologis yang erat dengan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW). GKJW sendiri didirikan tidak lama setelah GKJ, yaitu pada 11 Desember 1931 11, sebagai upaya menyatukan 29 Majelis Jemaat di seluruh Jawa Timur 11, yang juga merupakan buah pekabaran Injil dari zending Belanda. Pembentukan GKJ dan GKJW di tahun yang sama dari akar misi Belanda yang serupa, tetapi di wilayah geografis yang berbeda (Jawa Tengah/DIY vs. Jawa Timur), menunjukkan bagaimana faktor regional memengaruhi diferensiasi denominasional.
Hubungan GKJ dengan Gereja Kristen Indonesia (GKI) juga menarik. Sejarah menunjukkan bahwa GKJ bahkan “melahirkan” GKI, khususnya karena adanya kumpulan orang Tionghoa yang membutuhkan pekabaran Injil yang kontekstual bagi mereka.1 Hal ini menunjukkan fleksibilitas GKJ dalam merespons kebutuhan etnis yang berbeda. Ini menggambarkan kompleksitas lanskap Protestan di Indonesia, di mana misi yang sama dapat menghasilkan berbagai denominasi yang disesuaikan dengan konteks lokal, baik geografis maupun etnis. Ini juga menunjukkan kemampuan GKJ untuk beradaptasi dan mengakomodasi kebutuhan komunitas yang beragam, bahkan jika itu berarti memfasilitasi pembentukan gereja baru.
C. Kontribusi GKJ dalam Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI)
GKJ adalah anggota aktif dalam gerakan oikoumene di Indonesia, khususnya melalui Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), yang didirikan pada 25 Mei 1950.15 Kontribusi GKJ dalam PGI tidak hanya sebagai anggota, tetapi juga dalam kepemimpinan. Salah satu pendeta dari GKJ, Pdt. Prof. Sularso Sopater, pernah menjabat sebagai Ketua Umum PGI dari tahun 1987 hingga 1999 16, menunjukkan peran signifikan GKJ dalam arah gerakan oikoumene nasional. Pendeta-pendeta GKJ juga melayani dalam ikatan oikoumene, menunjukkan komitmen gereja terhadap keesaan Kristen yang lebih luas.8
Jabatan Pdt. Prof. Sularso Sopater sebagai Ketua Umum PGI adalah bukti nyata pengaruh dan kepemimpinan GKJ di tingkat nasional. Keterlibatan GKJ dalam PGI bukan hanya keanggotaan pasif, melainkan partisipasi aktif dalam visi PGI untuk keesaan gereja dan kontribusi terhadap pembangunan nasional, keadilan, dan pelestarian lingkungan.18 PGI memiliki visi untuk “mewujudkan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia” 16 dan menyerukan gereja-gereja untuk berpartisipasi secara positif, kreatif, dan realistis dalam pembangunan nasional, menegakkan keadilan, serta melestarikan alam.18 GKJ, dengan sejarah pelayanan sosialnya, sejalan dengan visi ini. Hal ini menunjukkan bahwa GKJ melampaui identitas “gereja suku”nya untuk berperan sebagai aktor penting dalam wacana dan aksi kebangsaan. Keterlibatannya dalam PGI menegaskan komitmennya terhadap persatuan Kristen dan tanggung jawab sosial-politik yang lebih luas, menjadikannya suara yang relevan dalam isu-isu keadilan dan kesejahteraan di Indonesia.
VII. GKJ di Era Digital: Adaptasi dan Inovasi Pelayanan
A. Tantangan dan Peluang Pelayanan di Dunia Maya
Era digital membawa tantangan sekaligus peluang bagi pelayanan gereja. Teknologi digital, khususnya media sosial, telah mengubah cara manusia berkomunikasi dan bersosialisasi, memungkinkan interaksi tanpa tatap muka.19 Gereja-gereja, termasuk GKJ, menyadari bahwa teknologi harus menjadi “pendamping, bukan oposisi” 20 untuk tetap relevan. Misi virtual menjadi kesempatan penting, terutama untuk menjangkau remaja yang banyak menghabiskan waktu di media sosial.21
Pernyataan bahwa gereja “harus menjadikan teknologi sebagai pendamping, bukan oposisi” dan bahwa “misi virtual adalah kesempatan” menunjukkan kesadaran GKJ akan pentingnya adaptasi digital. Ini bukan sekadar respons reaktif, melainkan pengakuan strategis bahwa teknologi adalah alat yang tak terhindarkan untuk menjangkau generasi baru dan mempertahankan relevansi di dunia yang semakin terhubung. Meskipun pelayanan digital tidak menggantikan komunitas tatap muka sebagai kebutuhan primer, ia menjadi kebutuhan sekunder yang penting untuk menjangkau jemaat lebih luas dan memperkuat hubungan.19 GKJ memahami bahwa keberlanjutan misinya di abad ke-21 sangat bergantung pada kemampuannya untuk berinovasi dan memanfaatkan platform digital. Ini mencerminkan visi ke depan yang proaktif untuk tetap menjadi kekuatan yang dinamis dan relevan dalam kehidupan spiritual dan sosial masyarakat, terutama di tengah pergeseran pola komunikasi dan gaya hidup.
B. Pemanfaatan Teknologi Digital dan Media Sosial dalam Misi Gereja
GKJ telah secara aktif mengintegrasikan teknologi digital ke dalam berbagai aspek pelayanannya. Banyak gereja lokal GKJ memiliki Komisi Digital (contohnya GKJ Jenawi 22; GKJ Baki 23) atau Tim Multimedia (GKJ Maguwoharjo 24; GKJ Rewulu 25) yang bertanggung jawab mengelola dan mengembangkan teknologi digital.
Program-program digital yang dilakukan meliputi:
- Penyebaran Firman Tuhan: Gereja-gereja GKJ menyediakan renungan dan devosi online, live streaming ibadah mingguan dan perayaan khusus 22, serta podcast rohani.22 Sebagai contoh, GKJ Rewulu menyiarkan ibadah daring melalui kanal YouTube mereka.25
- Pengelolaan Informasi dan Komunikasi: Terdapat pengelolaan website resmi Sinode GKJ (sinodegkj.or.id) dan gereja-gereja lokal, serta platform media sosial seperti Facebook dan YouTube.22 Ini memastikan informasi gereja, jadwal ibadah, dan artikel rohani mudah diakses oleh jemaat dan masyarakat luas.
- Edukasi dan Literasi Digital: GKJ juga berinvestasi dalam peningkatan literasi digital jemaatnya. Program-program ini mencakup pelatihan media dan teknologi bagi jemaat, termasuk pelatihan editing video dan multimedia, serta edukasi tentang keamanan digital dan penggunaan bijak teknologi.22 Hal ini bertujuan untuk memberdayakan jemaat dalam memanfaatkan teknologi secara positif.
- Pengembangan Komunitas Digital: Untuk memperkuat persekutuan di era digital, GKJ mengadakan kelompok doa online 22 dan
Bible study daring melalui platform seperti Zoom, seperti yang dilakukan oleh GKJ Mergangsan.27 - Inovasi Administratif: GKJ juga menerapkan digitalisasi dalam aspek administratif. Ini termasuk pengembangan aplikasi perangkat lunak untuk mendukung kebutuhan gereja dan digitalisasi arsip data gereja.22 Bahkan, Sinode GKJ telah merambah ke ranah e-commerce dengan memiliki toko online (GKJ SHOP di Shopee dan Tokopedia).26
Pemanfaatan teknologi digital oleh GKJ melampaui sekadar penyiaran ibadah. Ini mencakup spektrum luas dari penyebaran firman (live streaming, podcast), komunikasi (website, media sosial), pendidikan (literasi digital), pembinaan komunitas (doa online, Bible study Zoom), hingga administrasi (aplikasi, arsip digital) dan bahkan ekonomi (toko online).22
Ini menunjukkan pendekatan yang terintegrasi dan holistik. GKJ tidak hanya beradaptasi dengan era digital, tetapi secara aktif memanfaatkannya sebagai alat strategis untuk memperluas jangkauan misinya, memperkuat persekutuan jemaat, meningkatkan efisiensi tata kelola, dan melayani kebutuhan anggotanya di berbagai dimensi kehidupan. Ini mencerminkan komitmen GKJ untuk menjadi gereja yang relevan, inovatif, dan berdaya di tengah perubahan zaman.
VIII. Kesimpulan
A. Rekapitulasi Temuan Kunci dan Signifikansi Historis
Sejarah Gereja Kristen Jawa adalah narasi yang kaya tentang iman, adaptasi, dan ketahanan. Berawal dari benih pekabaran Injil oleh zending Belanda dan penginjil awam pribumi di tengah lingkungan kolonial, GKJ tumbuh melalui “gereja rumah tangga” dan pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Peran pelayanan sosial ini terbukti menjadi strategi kunci yang membuka jalan bagi penerimaan gereja di masyarakat Jawa.
Identitas teologisnya yang Calvinis dan sistem Presbiterial Sinodal memberikan fondasi yang kuat, meskipun mengalami adaptasi pragmatis dari waktu ke waktu, seperti pergeseran penekanan dari Presbiterial ke Sinodal untuk mengatasi kelemahan jemaat lokal pasca-zending. Persinggungan budaya Eropa dan Jawa, terutama melalui tokoh seperti Kiai Sadrach, membentuk identitas “Gereja Kristen Jawa” yang unik, yang secara aktif melestarikan budaya lokal sebagai bagian integral dari ekspresi imannya, bahkan menghadapi resistensi dari pihak kolonial.
Pembentukan Sinode GKJ pada 17 Februari 1931 menandai kemandirian dan kematangan institusional, memungkinkannya untuk berkembang menjadi salah satu denominasi terbesar di Jawa dengan struktur jemaat, klasis, dan sinode yang terorganisir. Di tingkat nasional, GKJ berperan aktif dalam gerakan oikoumene melalui Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), bahkan memimpin organisasi tersebut, menunjukkan komitmennya terhadap keesaan gereja dan pembangunan bangsa.
Di era digital, GKJ menunjukkan adaptasi dan inovasi yang luar biasa, memanfaatkan teknologi untuk memperluas pelayanan, memperkuat komunitas, dan tetap relevan di tengah masyarakat modern. Digitalisasi yang holistik ini mencakup berbagai aspek, dari penyebaran firman hingga tata kelola administratif.
B. Prospek dan Relevansi GKJ di Masa Depan
Dengan fondasi sejarah yang kuat, identitas budaya yang mengakar, struktur organisasi yang adaptif, serta komitmen terhadap oikoumene dan inovasi digital, GKJ memiliki prospek cerah untuk terus menjadi kekuatan spiritual dan sosial yang relevan di Indonesia. Kemampuannya untuk mengintegrasikan iman dengan budaya lokal menjadi model penting bagi gereja-gereja lain dalam konteks multikultural.
Tantangan di masa depan akan mencakup menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas, memperkuat identitas di tengah arus globalisasi yang dapat mengikis kekhasan budaya, serta terus berkontribusi pada kerukunan antar-agama dan pembangunan nasional dalam konteks masyarakat yang semakin kompleks. Kemampuan GKJ untuk terus beradaptasi dan berinovasi, sambil tetap berpegang pada akar teologis dan budayanya, akan menjadi kunci keberlanjutannya sebagai salah satu pilar Kekristenan di Indonesia.
Daftar Pustaka
- 14 uploaded:SEJARAH PEKABARAN INJIL DI TANAH MINAHASA RIDEL DAN SCHWARZ.docx
- 14 uploaded:Sejarah Pekabaran Injil Minahasa_.docx
- 7
https://digilib.itb.ac.id/assets/files/disk1/424/jbptitbpp-gdl-elisabethn-21181-2-2010ta-1.pdf - 3
https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13360/1/D_762009003_BAB%20I.pdf - 1
https://ejournal.uksw.edu/kritis/article/download/4275/1580/17266 - 4
https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/17362/3/T2_752015019_BAB%20III.pdf - 12
https://id.wikipedia.org/wiki/Sadrach - 13
https://www.merdeka.com/jateng/jejak-kyai-sadrach-di-gereja-karangjoso-bentuk-akulturasi-budaya-kristen-dan-jawa.html - 6
https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13360/5/D_762009003_BAB%20V.pdf - 5
https://gkjpurworejo.org/ - 9
https://sinodegkj.or.id/ - 11
https://id.scribd.com/document/365186104/20-PERKEMBANGAN-GEREJA - 28
https://gkjsabdamulya.org/tentang-gereja/majelis-2/ - 10
https://sinodegkj.or.id/profil/bapelsin-bawasin/ - 17
https://journal.ukwms.ac.id/index.php/KOMUNIKATIF/article/download/2625/pdf/6520 - 2
https://gkjnehemia.net/budaya-jawa-dan-identitas-gkj/ - 15
https://pgi.or.id/sinode-gereja-anggota-pgi/ - 29
https://id.scribd.com/document/724845841/Sejarah-Gerakan-Oikumene-Di-Indonesia-Hingga-Terbentuknya-Dgd - 21
https://jurnal.makedonia.ac.id/index.php/prosiding/article/download/22/46 - 20
https://sttsriwijaya.ac.id/e-journal/index.php/mitra_sriwijaya/article/download/122/121 - 15
https://pgi.or.id/sinode-gereja-anggota-pgi/ - 16
https://id.wikipedia.org/wiki/Persekutuan_Gereja-Gereja_di_Indonesia - 8
https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/24560/2/T1_212013120_Full%20text.pdf - 18
https://id.scribd.com/document/610947549/Materi-Oikumene - 22
https://gkjjenawi.or.id/?page_id=105 - 19
https://katalog.ukdw.ac.id/4084/1/01160017_bab1_bab5_daftarpustaka.pdf - 30
https://gkjbekasi.org/category/gaya-hidup/technology/ - 24
https://www.youtube.com/watch?v=21VFVP4He10 - 23
https://gkjbaki.org/komisi-multimedia-gkj-baki-sukoharjo - 26
https://sinodegkj.or.id/contact/ - 27
https://gkjmergangsan.org/jadwal-ibadah-dan-kegiatan/ - 25
https://www.youtube.com/c/multimediagkjrewulu - 15
https://pgi.or.id/sinode-gereja-anggota-pgi/ - 31
https://www.gkjamb.org/ - 32
https://pgi.or.id/weblama/sinode-gereja-anggota-pgi/ - 8
https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/24560/2/T1_212013120_Full%20text.pdf
Karya yang dikutip
- Konstruksi Identitas Gereja Kristen Jawa (GKJ) Margoyudan dalam Pelayanan Sosial Gereja di Surakarta, diakses Juni 13, 2025, https://ejournal.uksw.edu/kritis/article/download/4275/1580/17266
- BUDAYA JAWA DAN IDENTITAS GKJ – GKJ Nehemia Pondok Indah, diakses Juni 13, 2025, https://gkjnehemia.net/budaya-jawa-dan-identitas-gkj/
- BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Gereja Kristen Jawa (GKJ) mempunyai Tata Gereja dan Tata Laksana yang digunakan se, diakses Juni 13, 2025, https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13360/1/D_762009003_BAB%20I.pdf
- BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari Kampung Gilingan “Manggen ing kampung Gilingan, wonten dokter Landi i, diakses Juni 13, 2025, https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/17362/3/T2_752015019_BAB%20III.pdf
- GKJ Purworejo – Website resmi GKJ Purworejo (on progress), diakses Juni 13, 2025, https://gkjpurworejo.org/
- BAB V EKLESIOLOGI GEREJA KRISTEN JAWA 5.1 Sejarah Gereja Kristen Jawa Pekabaran Injil yang dilakukan oleh Zending, diakses Juni 13, 2025, https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13360/5/D_762009003_BAB%20V.pdf
- BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan beragama merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan dalam lingkaran hidup manus – Digilib ITB, diakses Juni 13, 2025, https://digilib.itb.ac.id/assets/files/disk1/424/jbptitbpp-gdl-elisabethn-21181-2-2010ta-1.pdf
- PENDAHULUAN Gereja Kristen Jawa (GKJ) adalah salah satu organisasi gereja yang berkembang di Indonesia, khususnya di antara masy, diakses Juni 13, 2025, https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/24560/2/T1_212013120_Full%20text.pdf
- Sinode GKJ – Sinode Gereja-Gereja Kristen Jawa, diakses Juni 13, 2025, https://sinodegkj.or.id/
- BAPELSIN & BAWASIN – Sinode GKJ, diakses Juni 13, 2025, https://sinodegkj.or.id/profil/bapelsin-bawasin/
- 20 Perkembangan Gereja | PDF – Scribd, diakses Juni 13, 2025, https://id.scribd.com/document/365186104/20-PERKEMBANGAN-GEREJA
- Sadrach – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses Juni 13, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Sadrach
- Jejak Kiai Sadrach di Gereja Karangjoso, Bentuk Akulturasi Budaya Kristen dan Jawa, diakses Juni 13, 2025, https://www.merdeka.com/jateng/jejak-kyai-sadrach-di-gereja-karangjoso-bentuk-akulturasi-budaya-kristen-dan-jawa.html
- SEJARAH PEKABARAN INJIL DI TANAH MINAHASA RIDEL DAN SCHWARZ.docx
- Sinode Gereja Anggota PGI, diakses Juni 13, 2025, https://pgi.or.id/sinode-gereja-anggota-pgi/
- Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses Juni 13, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Persekutuan_Gereja-Gereja_di_Indonesia
- Perayaan Undhuh-Undhuh di GKJ Purwokerto sebagai Media Komunikasi Multikultural dalam Membangun Kerukunan, diakses Juni 13, 2025, https://journal.ukwms.ac.id/index.php/KOMUNIKATIF/article/download/2625/pdf/6520
- Materi Oikumene | PDF – Scribd, diakses Juni 13, 2025, https://id.scribd.com/document/610947549/Materi-Oikumene
- HUBUNGAN ANTARA PELAYANAN SECARA DIGITAL DENGAN KOMUNITAS GEREJA – Universitas Kristen Duta Wacana, diakses Juni 13, 2025, https://katalog.ukdw.ac.id/4084/1/01160017_bab1_bab5_daftarpustaka.pdf
- Komunitas Virtual dan Riil: Relasi Gereja dan Media Sosial di Era Digital – Sekolah Tinggi Teologi Sriwijaya, diakses Juni 13, 2025, https://sttsriwijaya.ac.id/e-journal/index.php/mitra_sriwijaya/article/download/122/121
- MISI VIRTUAL: MELAYANI DI ERA DIGITAL – Jurnal Makedonia, diakses Juni 13, 2025, https://jurnal.makedonia.ac.id/index.php/prosiding/article/download/22/46
- KOMISI DIGITAL – GKJ JENAWI, diakses Juni 13, 2025, https://gkjjenawi.or.id/?page_id=105
- Komisi Multimedia – GKJ Baki Sukoharjo, diakses Juni 13, 2025, https://gkjbaki.org/komisi-multimedia-gkj-baki-sukoharjo
- Ibadah Minggu Inovatif GKJ Maguwoharjo | 27 April 2025 | 16.00 WIB | Indonesia – YouTube, diakses Juni 13, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=21VFVP4He10
- Multimedia GKJ Rewulu – YouTube, diakses Juni 13, 2025, https://www.youtube.com/c/multimediagkjrewulu
- Contact – Sinode GKJ, diakses Juni 13, 2025, https://sinodegkj.or.id/contact/
- Jadwal Ibadah dan kegiatan – gereja kristen jawa mergangsan, diakses Juni 13, 2025, https://gkjmergangsan.org/jadwal-ibadah-dan-kegiatan/
- Pengurus Komisi – GKJ SABDA MULYA – Sinode GKJ – Klasis Boyolali, diakses Juni 13, 2025, https://gkjsabdamulya.org/tentang-gereja/majelis-2/
- Sejarah Gerakan Oikumene Di Indonesia Hingga Terbentuknya DGD | PDF – Scribd, diakses Juni 13, 2025, https://id.scribd.com/document/724845841/Sejarah-Gerakan-Oikumene-Di-Indonesia-Hingga-Terbentuknya-Dgd
- Technology – GKJ Bekasi, diakses Juni 13, 2025, https://gkjbekasi.org/category/gaya-hidup/technology/
- GKJ Ambarrukma | Anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, diakses Juni 13, 2025, https://www.gkjamb.org/
- Sinode Gereja Anggota PGI, diakses Juni 13, 2025, https://pgi.or.id/weblama/sinode-gereja-anggota-pgi/