
Wartagereja.co.id – Tana Toraja – Pembangunan musala di sekitar kawasan Wisata Religi Patung Yesus Memberkati di Buntu Burake, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, yang telah dihentikan setelah memicu polemik, menjadi perhatian serius Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI). Organisasi ini menyoroti kasus tersebut sebagai bukti nyata perlunya evaluasi dan pencabutan Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama Nomor 9 Tahun 2006 dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006, khususnya Pasal 13 yang dianggap diskriminatif.
Pembangunan musala yang diawali dengan peletakan batu pertama oleh Kapolres Tana Toraja, AKBP Budi Hermawan, pada Minggu (8/6/2025) ini menuai protes karena sejumlah alasan. Di antaranya adalah belum adanya Izin Mendirikan Bangunan Gedung (PBG) dari pemerintah, tanpa rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), serta minimnya sosialisasi dengan warga sekitar.
Pantauan di lokasi pada Kamis (12/6/2025) menunjukkan tidak ada lagi aktivitas pembangunan, namun sisa-sisa pondasi dan tiang-tiang penyangga dari kayu masih terlihat. Kondisi ini mengesampingkan hasil pertemuan yang telah dilaksanakan pada Senin (9/6/2025) lalu yang melibatkan pemerintah kelurahan, tokoh adat, tokoh agama, unsur masyarakat, dan pemilik tanah. Salah satu poin penting dari kesepakatan pertemuan tersebut adalah pembongkaran bangunan yang telah didirikan.
Tokoh masyarakat setempat, Andarias Parapak, mempertanyakan lambatnya pembongkaran. “Ini kan sudah ada keputusan saat pertemuan lalu, ini sudah berjalan beberapa hari, tapi kok tidak di jalan seluruhnya. Kenapa belum dibongkar? Di situ saya lihat keanehan,” ucapnya. Andarias juga mendesak Kapolres Tana Toraja untuk segera memberikan klarifikasi terkait perannya dalam peletakan batu pertama pembangunan musala tersebut. “Cepat klarifikasi, jangan tunggu berlarut-larut ini. Sudah mau sepekan kok seperti tidak ada itikad baik,” tuturnya.
Terpisah, Kapolres Tana Toraja, AKBP Budi Hermawan, menyatakan akan segera memberikan pernyataan. “Insya Allah dalam waktu dekat, entah Kamis ini atau Jumat esok. Pokoknya secepatnya akan kami infokan,” jelasnya.
Sebelumnya, pertemuan antara FKUB Tana Toraja, tokoh adat, dan tokoh masyarakat di kantor Kelurahan Buntu Burake pada Senin (9/6/2025) pagi, yang juga dihadiri keluarga Aisyah selaku pemilik tanah, menghasilkan lima kesepakatan penting:
- Pihak keluarga mengakui bahwa proses “peletakan batu pertama” tidak disosialisasikan kepada masyarakat dan tokoh masyarakat, sehingga menimbulkan keresahan.
- Keluarga dan masyarakat sepakat untuk tidak melanjutkan pembangunan musala hingga ada keputusan yang berdasar pada prosedur undang-undang yang difasilitasi pemerintah.
- Keluarga akan membongkar seluruh proses pembangunan yang telah berjalan hingga ada keputusan bersama antara masyarakat, pemerintah, dan keluarga.
- Masyarakat mempertanyakan urgensi kehadiran kepolisian, khususnya Kapolres Tana Toraja, yang secara langsung meletakkan batu pertama tanpa melibatkan masyarakat sekitar.
- Pemerintah (pihak kelurahan) diminta segera merespons situasi ini demi menjaga keharmonisan masyarakat.
Menanggapi persoalan ini, Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI), Dharma Leksana, S.Th., M.Si., menegaskan sikap organisasinya. “Sesuai dengan naskah akademik yang kami susun tentang ‘Evaluasi dan Usulan Pencabutan Pasal 13 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006: Perspektif Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia’, saya rasa memang harus secepatnya Perber 2 menteri ini dicabut saja,” ungkap Dharma.
Ia menambahkan bahwa PWGI sangat prihatin dengan dampak Pasal 13 terhadap komunitas Kristen di Indonesia. “Laporan ini menggarisbawahi argumen utama untuk mengevaluasi dan berpotensi mencabut Pasal 13: sifatnya yang diskriminatif, konflik dengan prinsip-prinsip konstitusional dan hak asasi manusia, dan perannya dalam melanggengkan intoleransi. Penting untuk memastikan kebebasan beragama dan kesetaraan bagi semua warga negara,” jelasnya.
PWGI berharap pemerintah akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mereformasi kerangka regulasi dan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara di mana semua komunitas agama dapat berkembang.
“Untuk menjadi hidup rukun berdampingan dalam keberagaman kok sulit sekali ya, harus diatur-atur, bahkan aturan-aturan yang dibuat pada gilirannya malah menjadi alat bagi berbagai pihak untuk merusak kerukunan umat beragama. Yang harus kita lakukan adalah terus mengembangkan sikap moderasi beragama dan toleran,” tutup Dharma Leksana Ketum PWGI.
(Tim Media dan Komunikasi DPP Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia – PWGI)