
Dharma Leksana, S.Th., M.Si. - Ketua Umum PWGI
Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si. – Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI)
Wartagereja.co.id – Jakarta, Indonesia, sebuah bangsa yang dibangun di atas fondasi keberagaman dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, kini menghadapi tantangan serius. Api intoleransi terus menyala di berbagai daerah, mengancam salah satu hak paling asasi manusia: kebebasan beragama dan berkeyakinan. Fenomena ini bukan lagi sekadar isu sporadis, melainkan sebuah ancaman nyata yang mengikis harmoni sosial dan merapuhkan sendi-sendi persatuan bangsa.
1. Memahami Intoleransi: Penolakan Atas Perbedaan
Intoleransi adalah sikap atau tindakan yang tidak menghormati, menolak, atau bahkan menyerang keberadaan perbedaan pandangan, keyakinan, atau identitas seseorang maupun kelompok lain. Dalam konteks keagamaan, intoleransi mewujud dalam penolakan terhadap keyakinan atau praktik keagamaan yang berbeda dari mayoritas atau kelompok yang dominan.
Fenomena ini sering kali terlihat dalam bentuk nyata yang menyakitkan: mulai dari pelarangan mendirikan rumah ibadah, diskriminasi dalam pelayanan publik, penyebaran ujaran kebencian berbasis agama, hingga kekerasan fisik yang brutal. Setiap tindakan intoleran tidak hanya melukai korban secara langsung, tetapi juga menciptakan luka sosial yang dalam, merusak kepercayaan antarumat beragama, dan pada akhirnya mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
2. Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB): Jaminan Konstitusi yang Terkikis
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) adalah hak fundamental setiap individu untuk memilih, menjalankan, mengganti, dan menyatakan agama atau keyakinannya secara bebas. Hak ini berlaku baik secara individu maupun kolektif, di ruang privat maupun publik, termasuk di dalamnya hak untuk tidak memeluk agama apa pun.
Secara yuridis, Indonesia memiliki landasan hukum yang sangat kokoh untuk melindungi KBB:
- Pasal 28E Ayat (1) dan (2) UUD 1945: Menjamin kebebasan memeluk agama, beribadat, menyatakan pikiran, dan berserikat.
- Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945: Dengan tegas menyatakan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
- Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: Menjamin perlindungan terhadap hak untuk menjalankan ajaran agama dan kepercayaan.
- Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR): Diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005, yang juga menjadi bagian dari hukum positif di Indonesia.
Namun, jaminan konstitusional ini sering kali tumpul di hadapan realitas sosial dan politik.
3. Catatan Kelam: Kasus-Kasus Intoleransi dalam Satu Dekade Terakhir
Cermin buram penegakan KBB di Indonesia terlihat jelas dari serangkaian kasus intoleransi yang menimpa kelompok minoritas dalam 10 tahun terakhir:
- Padang, Sumatera Barat (2025): Pembubaran paksa dan perusakan rumah doa milik GKSI Anugerah. Massa melakukan kekerasan fisik, bahkan terhadap anak-anak, dan menghancurkan fasilitas ibadah.
- Bekasi (2025): Kegiatan ibadah umat Kristen dibubarkan oleh warga dengan dalih “izin belum lengkap”, padahal pihak gereja menyatakan telah menempuh prosedur perizinan yang seharusnya.
- GKI Yasmin, Bogor (2010–2022): Meskipun telah memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang sah dan putusan Mahkamah Agung, jemaat GKI Yasmin ditolak oleh warga dan pemerintah daerah, memaksa mereka beribadah di trotoar selama bertahun-tahun.
- HKBP Filadelfia, Bekasi (2012–2022): Mengalami nasib serupa GKI Yasmin, penolakan dari warga dan minimnya perlindungan dari aparat membuat jemaat kesulitan mengakses rumah ibadahnya sendiri.
- Komunitas Ahmadiyah, NTB dan Jawa Barat (2010–2020): Mengalami persekusi sistematis, mulai dari pelarangan ibadah, pengusiran dari kampung halaman, perusakan masjid, hingga penerbitan peraturan daerah yang diskriminatif.
- Pembubaran Diskusi di Yogyakarta (2023): Sebuah diskusi ilmiah mengenai toleransi dan hak-hak minoritas dibubarkan paksa oleh organisasi masyarakat (ormas) dengan tuduhan “menyebarkan ajaran sesat”.
- Penyerangan terhadap Syiah di Sampang, Madura (2012): Eskalasi kebencian berujung pada pembakaran rumah dan tempat ibadah, menyebabkan puluhan warga Syiah harus hidup di pengungsian selama bertahun-tahun.
- Penutupan Gereja di Jambi dan Aceh Singkil (2015–2021): Sejumlah gereja ditutup oleh pemerintah daerah dengan alasan izin, meskipun telah digunakan untuk beribadah selama bertahun-tahun.
- Diskriminasi terhadap Penghayat Kepercayaan: Sebelum Putusan MK pada 2017, para penghayat kepercayaan tidak dapat mencantumkan keyakinan mereka di KTP, yang berujung pada diskriminasi dalam akses layanan publik.
- Penolakan Tempat Ibadah di Bandung (2020–2024): Berbagai rencana pembangunan gereja dan vihara menghadapi penolakan keras dari sebagian kelompok warga dengan alasan “tidak sesuai aspirasi warga mayoritas”.
- Kasus Terkini muncul di Jawa Timur, Pembangunan Gereja GKJW Mojoroto Dihentikan Paksa, Kota Kediri Diuji Soal Toleransi
4. Akar Masalah: Mengapa Intoleransi Terus Terjadi?
Api intoleransi terus menyala karena dipicu oleh beberapa faktor utama yang saling berkaitan:
- Minimnya Pendidikan Multikultural: Sistem pendidikan belum sepenuhnya berhasil menanamkan pemahaman bahwa keberagaman adalah kekayaan bangsa, bukan sebuah ancaman.
- Politisasi Agama: Agama sering kali dieksploitasi oleh elite politik untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan. Sentimen mayoritas-minoritas dipertajam demi kepentingan politik sesaat.
- Lemahnya Penegakan Hukum: Aparat penegak hukum sering kali ragu-ragu, lamban, atau bahkan terkesan membiarkan tindakan persekusi oleh kelompok intoleran. Impunitas bagi pelaku membuat mereka semakin berani.
- Regulasi Diskriminatif: Beberapa peraturan, terutama Peraturan Bersama Menteri (PBM) No. 8 dan 9 Tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah, justru menjadi alat untuk melegitimasi penolakan oleh kelompok mayoritas.
- Stigma dan Stereotip: Narasi kebencian yang melabeli kelompok minoritas sebagai “sesat”, “asing”, atau “ancaman” terus disebarkan tanpa ada upaya serius untuk menangkalnya.
Studi kasus GKSI Anugerah di Padang (2025) menjadi contoh tragis. Meskipun ibadah berlangsung damai, serangan brutal tetap terjadi. Ini menunjukkan absennya perlindungan negara, superioritas kelompok intoleran yang merasa “diizinkan” bertindak karena lemahnya aparat, serta kuatnya stigma terhadap keyakinan tertentu di tingkat lokal.
5. Jalan Keluar: Menegakkan Kembali KBB di Indonesia
Untuk mengatasi intoleransi dan menegakkan kembali KBB, diperlukan langkah-langkah konkret dan komprehensif:
- A. Reformasi Regulasi: Langkah pertama dan paling mendesak adalah mencabut peraturan diskriminatif, termasuk PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006. Pengaturan rumah ibadah harus dikembalikan pada aspek teknis bangunan, bukan persetujuan teologis atau sosial dari mayoritas.
- B. Penegakan Hukum yang Tegas: Negara harus menindak tanpa pandang bulu setiap pelaku intoleransi, baik individu maupun ormas. Aparat yang terbukti membiarkan kekerasan atas nama agama harus diberi sanksi tegas.
- C. Pendidikan Toleransi dan HAM: Kurikulum pendidikan formal harus mengintegrasikan nilai-nilai multikulturalisme, toleransi, dan hak asasi manusia sejak dini. Literasi keberagaman juga perlu digalakkan di media dan ruang publik.
- D. Penguatan Peran Masyarakat Sipil: Dialog dan kerja sama lintas iman harus terus didorong untuk membangun jembatan pemahaman dan solidaritas antarumat beragama.
- E. Perlindungan Aktif terhadap Minoritas: Negara tidak boleh pasif. Pemerintah harus hadir secara aktif memberikan jaminan hukum, keamanan, dan dukungan sosial bagi kelompok-kelompok rentan yang menjadi sasaran intoleransi.
6. Fokus Utama: Mendesak Pencabutan PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri ini sering menjadi biang keladi konflik. PBM ini mensyaratkan pendirian rumah ibadah harus mendapat dukungan 90 tanda tangan pengguna dan 60 tanda tangan warga sekitar, serta rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Masalah utamanya adalah peraturan ini sangat diskriminatif bagi minoritas, menjadikan hak konstitusional untuk beribadah tunduk pada persetujuan mayoritas lokal. Berbagai kelompok advokasi, seperti Persekutuan Wanita Gereja di Indonesia (PWGI), telah menyusun naskah akademik yang menyatakan PBM ini bertentangan dengan UUD 1945 dan UU HAM, serta mendesak penyusunan peraturan baru yang berbasis hak asasi manusia.
Penutup: Mengembalikan Indonesia pada Jati Dirinya
Maraknya intoleransi agama di Indonesia bukan sekadar pelanggaran hak individu, tetapi merupakan ancaman langsung terhadap fondasi demokrasi dan persatuan bangsa. Negara tidak boleh tunduk pada tekanan kelompok intoleran. Sudah saatnya pemerintah dan seluruh elemen bangsa bertindak tegas. Melalui reformasi regulasi yang berkeadilan, penegakan hukum yang kuat, serta pendidikan toleransi yang masif, Indonesia dapat kembali menegaskan jati dirinya sebagai bangsa yang benar-benar hidup dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika.