
Dharma Leksana, S.Th., M.Si.
Wartagereja.co.id – Jakarta, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan kewajiban badan hukum bagi setiap usaha pers. Merujuk pada publikasi resmi Dewan Pers (tautan: https://dewanpers.or.id/publikasi/opini_detail/77/Badan_Usaha_Pers) yang terbit pada 3 September 2014, dinyatakan secara eksplisit bahwa usaha pers harus memiliki badan usaha yang berbadan hukum. Berikut adalah rangkuman lengkap dari artikel tersebut:
“Agar media terbebas dari intervensi pemerintah, pengelolaannya harus berlandaskan mekanisme pasar, bukan sistem negara. Dan untuk sepenuhnya melayani demokrasi, media harus diisi oleh para profesional yang berupaya menyajikan informasi secara akurat, tidak memihak, dan informatif.” (James Curran, Media And Democracy, Routledge, 2011)
1. Pendahuluan
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 mewajibkan setiap perusahaan pers untuk memiliki badan hukum atau berstatus badan hukum (Pasal 9 ayat (2) UU Pers). Undang-undang ini tidak merinci jenis badan hukum yang spesifik, seperti Perseroan Terbatas (PT). Dalam sistem hukum Indonesia, terdapat beragam bentuk badan hukum, seperti PT, Koperasi, Yayasan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan Badan Hukum Pendidikan. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, selain PT (dikenal sebagai Naamloze Vennootschap atau NV), terdapat pula badan hukum lain yang diatur dalam Indische Bedrijfswet (IBW) dan Indische Comptabiliteitswet (ICW). Contoh badan hukum menurut IBW adalah perusahaan kereta api dan perusahaan telegraf dan telepon, sementara menurut ICW adalah perusahaan air minum. ICW juga menegaskan bahwa negara adalah badan hukum. Bahkan di era Hindia Belanda, terdapat badan hukum khusus untuk gereja (kerkstaat). Hal ini menunjukkan keragaman bentuk badan hukum yang pernah dan masih eksis di Indonesia. Saat ini, berbagai undang-undang mengatur badan hukum di Indonesia, seperti UU PT, UU Koperasi, UU Yayasan, UU BUMN dan BUMD, serta UU Perguruan Tinggi. Dahulu, sebelum bertransformasi menjadi PT, perusahaan minyak Pertamina juga merupakan badan hukum tersendiri.
2. Praktik Badan Usaha Pers di Lapangan
Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers (Dewan Pers) secara rutin melakukan pendataan perusahaan pers setiap tahun. Data yang terkumpul menunjukkan bahwa belum semua perusahaan pers telah berbadan hukum. Sebagian masih berbentuk Firma (Fa) atau Commanditaire Vennootschap (CV). Menurut ketentuan hukum dan doktrin di Indonesia, Firma dan CV saat ini tidak dikategorikan sebagai badan hukum. Oleh karena itu, secara formal, perusahaan pers dengan bentuk usaha seperti ini belum sepenuhnya memenuhi ketentuan UU No. 40 Tahun 1999. Pertanyaan yang muncul adalah: “Apakah badan hukum memang suatu keharusan bagi perusahaan pers, dan apa alasan di balik kewajiban tersebut?” (akan dibahas lebih lanjut di bawah).
3. Keharusan Badan Hukum bagi Perusahaan Pers: Argumen Pro dan Kontra
Pembentuk Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 memiliki maksud baik dengan mewajibkan badan hukum bagi perusahaan pers, dengan alasan yang kuat:
- Alasan Pertama: Definisi “perusahaan” merujuk pada “kegiatan ekonomi yang bertujuan mencari laba atau keuntungan.” Motivasi utama perusahaan adalah motif ekonomi, yaitu mengejar keuntungan. Perusahaan pers, sebagai entitas bisnis, tidak terlepas dari motif ini, terutama mengingat perkembangan pers sebagai industri dan usaha ekonomi.
- Alasan Kedua: Bentuk badan hukum memberikan landasan hukum dan akuntabilitas hukum yang lebih jelas. Hubungan hak dan kewajiban, baik internal maupun eksternal, menjadi lebih terstruktur dan pasti. Hal ini diharapkan dapat menjamin perusahaan pers dalam menjalankan hak dan kewajiban hukumnya tanpa merugikan pihak lain, serta meningkatkan kepercayaan (trust) terhadap perusahaan pers.
- Alasan Ketiga: Badan hukum memberikan fondasi yang lebih kokoh bagi perusahaan pers untuk berkembang menjadi entitas yang terkelola (manageable), ekonomis, efektif, dan efisien.
Namun, realitas di lapangan menghadirkan sejumlah tantangan:
- Tantangan Pertama: Perkembangan teknologi jurnalistik dan jurnalisme tidak selalu selaras dengan konsep perusahaan. Apakah fenomena “citizen journalism” atau seluruh aktivitas media daring dapat dikategorikan sebagai kegiatan perusahaan yang harus berbentuk badan usaha?
- Tantangan Kedua: Terdapat beragam aktivitas yang menjalankan fungsi jurnalistik secara penuh (menjalankan seluruh kegiatan jurnalistik), namun tidak berstatus sebagai perusahaan pers. Contohnya adalah pers kampus (pers mahasiswa). Pers kampus, baik cetak, radio, maupun daring, secara nyata menjalankan kegiatan jurnalistik, bahkan seringkali dengan standar kerja profesional. Apakah pers kampus harus bertransformasi menjadi perusahaan pers dan berbadan hukum? Mungkin ada contoh-contoh lain serupa.
Menanggapi tantangan ini, terdapat beberapa opsi. Opsi Pertama: Tidak menggolongkan entitas seperti pers kampus sebagai “pers”. Konsekuensinya, mereka tidak terikat pada kode etik jurnalistik dan undang-undang pers, namun juga tidak berhak atas perlindungan yang diatur dalam kode etik, undang-undang pers, dan jaminan kemerdekaan pers. Sebagai ilustrasi, setelah tahun 1980-an, Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam beberapa putusannya menetapkan bahwa Amandemen Pertama tidak berlaku untuk pers kampus, dan membenarkan tindakan Rektor (atau pimpinan sekolah) terhadap pers kampus (pelarangan terbit, sensor, pembredelan). Opsi Kedua: Melonggarkan definisi kegiatan pers. Pers tidak hanya dijalankan oleh atau melalui perusahaan pers. Setiap kegiatan yang memenuhi kriteria jurnalistik (baik dilakukan oleh perorangan, badan usaha tidak berbadan hukum, atau badan usaha berbadan hukum) dapat dikategorikan sebagai pers. Jika konsep ini diterima, perlu dilakukan perubahan pada UU No. 40 Tahun 1999. Dengan demikian, entitas seperti pers kampus dapat diakui sebagai pers, sehingga wajib mematuhi dan berhak atas perlindungan kode etik dan hukum (terutama terkait jaminan dan perlindungan kemerdekaan pers).
4. Pilihan Bentuk Badan Hukum Pers
Sebelum membahas berbagai kemungkinan bentuk badan hukum pers, perlu diingatkan kembali beberapa poin penting:
- Poin Pertama: Kategori badan hukum dibedakan menjadi badan hukum publik (publiek rechtspersoon, public corporation atau public legal person atau public legal entity) dan badan hukum perdata atau badan hukum privat (privaat rechtspersoon, private legal person atau private legal entity). Badan hukum perdata didirikan oleh individu (perorangan atau badan hukum publik atau privat), diatur dan tunduk pada hukum perdata dalam arti luas (hukum perdata dan hukum dagang). Badan hukum publik didirikan oleh badan publik (negara, badan-badan publik otonom), diatur dan tunduk pada hukum publik untuk menjalankan tugas-tugas publik (state functions).
- Poin Kedua: Badan hukum adalah subjek hukum (pembentuk hak dan kewajiban hukum) yang terpisah dari pendiri, anggota, atau penyertanya (penanam modal).
- Poin Ketiga: Badan hukum memiliki kekayaan sendiri, yang terpisah dari kekayaan pendiri, anggota, atau penyerta/penanam modal.
- Poin Keempat: Pengurus badan hukum bertindak sebagai wakil atau mewakili badan hukum (di dalam maupun di luar pengadilan), dan tidak bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan atas nama badan hukum, kecuali jika terbukti pengurus bertindak saat badan hukum belum disahkan, melampaui wewenang, atau mencari keuntungan pribadi dari kegiatan (usaha) badan hukum.
Untuk mengakomodasi realitas seperti perkembangan citizen journalism, pers kampus (pers mahasiswa), dan kapasitas permodalan, perusahaan pers dapat memilih berbagai bentuk badan usaha sebagai berikut:
- Pilihan Pertama: Tidak berbentuk badan usaha karena merupakan bagian dari organisasi publik atau privat, dan tidak memiliki motif mencari laba. Kategori ini mencakup pers kampus yang merupakan bagian organik dari universitas (meskipun otonom), serta kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh individu, seperti situs web atau media daring perorangan. Perlu diatur sistem pengendalian dan tanggung jawab agar kegiatan ini tetap dijalankan sesuai kriteria jurnalistik dan mematuhi kode etik (seperti Pedoman Media Siber yang disusun Dewan Pers bersama penyelenggara media siber).
- Pilihan Kedua: Badan usaha yang tidak berbadan hukum, baik perorangan (maatschap) maupun persekutuan dagang (Firma atau CV). Meskipun tidak berbadan hukum, bentuk usaha ini tetap bersifat ekonomi (bermotif laba). Bentuk badan usaha ini dapat mengakomodasi keinginan (hasrat) jurnalistik tanpa modal besar, dan mungkin hanya untuk memenuhi kebutuhan media lokal. Namun, terdapat risiko:
- Tidak ada pemisahan kekayaan pribadi pemilik atau anggota persekutuan. Setiap kewajiban ekonomi (keuangan) terhadap pihak lain akan melibatkan kekayaan pribadi dan pertanggungjawaban renteng (hoofdelijk aansprakelijkheid), di mana setiap peserta bertanggung jawab atas seluruh kewajiban perusahaan (tanpa batasan tanggung jawab).
- Karena tidak ada kewajiban hukum untuk memenuhi kriteria tertentu (sesuai undang-undang), bentuk usaha ini rentan disalahgunakan sebagai usaha coba-coba, iseng, atau alat untuk melakukan tindakan tidak terpuji (ter kwader trouw, bad faith), terutama jika didukung oleh wartawan yang tidak kompeten.
- Pilihan Ketiga: Berbentuk badan hukum. Terdapat beberapa opsi:
- Perseroan Terbatas (PT): Saat ini, PT adalah bentuk badan usaha yang umum di kalangan perusahaan pers dan berorientasi ekonomi. Meskipun demikian, sebagai perusahaan pers, PT wajib menjunjung tinggi fungsi dan tujuan pers sebagai sarana publik. Tanggung jawab yang terbatas (terbagi atau tidak terbagi atas saham) meminimalkan risiko bagi pendiri atau peserta modal. Bentuk PT lebih mudah membangun kepercayaan publik sebagai badan usaha yang serius, dengan akuntabilitas yang jelas.
- Koperasi: Koperasi juga merupakan badan usaha yang bersifat ekonomi, namun lebih dari sekadar badan usaha ekonomi. Menurut UUD 1945 dan cita-cita koperasi, koperasi adalah gerakan ekonomi dan sosial rakyat (bukan pemilik modal), bahkan mengandung makna politik. Koperasi sebagai gerakan adalah upaya perubahan ekonomi, sosial, dan bahkan politik. Bung Hatta mengajarkan bahwa koperasi adalah wadah pendidikan politik, tempat menanamkan tanggung jawab bersama dan melaksanakan kedaulatan rakyat secara sehat (pimpinan koperasi dipilih secara bergilir). Di berbagai negara (seperti Belanda dan negara-negara Skandinavia), koperasi menunjukkan prestasi yang sangat baik. Koperasi sangat mungkin menjadi wadah perusahaan pers. Koperasi adalah badan hukum dengan prosedur pendirian yang sederhana. Sejak awal, koperasi mendorong partisipasi banyak orang (minimal 22 pendiri). Badan hukum koperasi dapat lebih menjamin misi ideal pers sebagai sarana publik, serta berkembang secara simultan sebagai sarana ekonomi dan sosial. Sayangnya, belum banyak contoh perusahaan pers berbentuk koperasi di Indonesia.
- Yayasan: Usaha atau kegiatan pers yang semata-mata bersifat sosial, keagamaan, atau kemanusiaan dapat menggunakan bentuk yayasan. Sesuai ketentuan undang-undang, penerbitan pers oleh yayasan tidak boleh bersifat komersial. Namun, jika penerbitan tersebut memiliki wibawa dan otoritas yang substansial, yayasan dapat memperoleh kompensasi (bukan harga ekonomi) yang memadai. Saat ini, banyak yayasan atau perkumpulan (politik, sosial, ekonomi) yang memiliki penerbitan, namun tidak dimaknai sebagai kegiatan pers, sehingga tidak terikat pada perlindungan, jaminan, dan kewajiban yang diatur dalam kode etik pers dan peraturan perundang-undangan.
5. Penutup
Secara normatif, tersedia berbagai pilihan badan hukum untuk perusahaan pers (tidak hanya PT). Namun, secara sosiologis, PT adalah bentuk yang paling umum digunakan. Sebaliknya, Undang-Undang Pers tidak memberikan ruang bagi perusahaan pers yang tidak berbadan hukum. Selama UU No. 40 Tahun 1999 masih berlaku, terdapat kewajiban hukum bagi perusahaan pers yang belum berbadan hukum untuk bertransformasi menjadi badan hukum. Kelalaian dalam memenuhi kewajiban ini merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Pers. Bagi perusahaan pers yang masih berbentuk Fa atau CV, perubahan menjadi badan hukum (misalnya PT) akan memberikan keuntungan, antara lain, transisi dari pertanggungjawaban tidak terbatas menjadi terbatas.
Namun, perlu juga dipertimbangkan bentuk yang tepat bagi pers perorangan atau pers yang terkait dengan satuan publik (seperti pers kampus), demi kepastian hukum, akuntabilitas, dan perkembangan yang berkelanjutan.
Sebagai penutup, penting untuk merenungkan kutipan dari James Curran di atas, yang dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
“Jika media ingin terbebas dari kontrol pemerintah, maka sistemnya harus didasarkan pada mekanisme pasar, bukan pada sistem yang dikendalikan negara. Dan jika media ingin sepenuhnya berfungsi sebagai pilar demokrasi, maka harus dikelola oleh profesional yang berkomitmen pada akurasi, ketidakberpihakan, dan penyampaian informasi yang bermakna.”
( Dharma Leksana, S.Th., M.Si. – Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI)