
Pdt. Darwin Darmawan - Sekum PGI
Wartagereja.co.id – Jakarta – Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) bersama sejumlah mitra kerja menggelar diskusi daring (online) bertajuk “Gereja Merespons Darurat Perlindungan Anak di Indonesia” pada Selasa (29/4/2025). Diskusi ini diinisiasi oleh Biro Keluarga dan Anak PGI, bekerja sama dengan United Evangelical Mission (UEM), Jaringan Peduli Anak Bangsa (JPAB), dan Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK), menyikapi meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak, termasuk di lingkungan gereja.
Data Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan angka yang memprihatinkan, di mana sekitar 11,5 juta anak atau 50,78% anak usia 13–17 tahun pernah mengalami kekerasan sepanjang hidup mereka. Dalam satu tahun terakhir saja, sekitar 7,6 juta anak dilaporkan mengalami kekerasan. Kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan gereja di Indonesia juga telah menjadi perhatian serius dalam beberapa tahun terakhir.
Diskusi menghadirkan dua narasumber utama, yaitu Sekretaris Umum PGI Pdt. Darwin Darmawan dan Pendiri End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia, Dr. Ahmad Sofyan, SH. MA, yang juga Dosen Hukum Pidana di Universitas Bina Nusantara. Acara ini diikuti oleh jemaat, pendeta, perwakilan lembaga Kristen, serta pimpinan sinode gereja.
Tantangan dalam Perlindungan Anak
Dalam paparannya, Pdt. Darwin Darmawan menegaskan bahwa kasus kekerasan terhadap anak memerlukan respons serius dan komprehensif. Meskipun Indonesia telah memiliki regulasi seperti UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002, diperbarui 2014) dan lembaga seperti KPAI, tantangan penanganan masih besar. “Banyak kasus yang tidak dilaporkan daripada yang dilaporkan (fenomena ‘gunung es’), dan penegakan hukum masih belum optimal,” ujar Pdt. Darwin.
Ia juga menyoroti beberapa faktor lain yang memperparah situasi, antara lain budaya patriarki dan anggapan kekerasan sebagai “cara mendidik” yang masih kuat di beberapa daerah, kurangnya sumber daya untuk layanan perlindungan anak, terutama di wilayah terpencil, serta narasi religius yang kerap menggiring korban untuk memaafkan, memaklumi, atau menutupi kasus demi menjaga nama baik institusi keagamaan.
Pdt. Darwin mengakui bahwa beberapa gereja di Indonesia, termasuk gereja Katolik, telah mulai merumuskan kebijakan perlindungan anak, termasuk aturan interaksi dengan anak di berbagai pelayanan gereja. Bahkan, beberapa sinode telah membentuk satgas perlindungan anak. “Namun, realitanya tidak semua gereja di Indonesia memiliki kemampuan yang merata dalam menghadapi persoalan ini,” imbuhnya.
Oleh karena itu, ia berharap diskusi ini dapat memunculkan pemikiran komprehensif dan upaya kolaborasi dalam menyikapi darurat kekerasan terhadap anak. “Memang kita patut bersyukur jika beberapa gereja sudah ada pelayanan anak dan keluarga. Namun rasanya perlu dilakukan evaluasi sejauhmana gereja ramah anak sudah dihidupkan semangatnya supaya kita lebih responsif terhadap tanggung jawab yang diberikan Tuhan yaitu memenuhi hak-hak dasar anak,” tandasnya.
Eksploitasi Anak di Ranah Daring
Sementara itu, Dr. Ahmad Sofyan menyoroti pergeseran eksploitasi seksual anak ke dimensi online atau ruang siber akibat kemajuan teknologi, yang membuat anak lebih mudah dijangkau oleh pelaku.
Menurutnya, penting bagi orang tua untuk cakap digital agar mampu menciptakan internet yang aman bagi anak, mengetahui tips merespons dan mencegah eksploitasi seksual anak online, serta mempelopori proses menciptakan organisasi yang aman secara online bagi anggotanya.
“Menjadi orang tua cakap digital itu penting, supaya tahu aplikasi apa yang dimiliki anak, dengan siapa anak berselancar di dunia maya, mampu membangun dialog dan komunikasi, serta tahu mana yang boleh dibuka atau tidak, sebab anak-anak sekarang pindah dari dunia nyata ke dunia cyber yang juga banyak hal-hal jahatnya,” jelas Dr. Sofyan.
Dengan cakap digital, lanjutnya, orang tua dapat merespons dengan bijak ketika anak mengalami eksploitasi seksual online. Orang tua tidak panik, dapat mendengarkan anak dengan penuh perhatian tanpa menyalahkan (karena anak adalah korban), dan melakukan konsultasi dengan pihak atau lembaga yang kompeten dalam menangani kasus tersebut.
Menyinggung kasus kekerasan seksual anak di lembaga keagamaan, Dr. Sofyan menekankan pentingnya lembaga keagamaan, termasuk gereja, memiliki petunjuk perlindungan anak (child protection guide).

Rekomendasi Tindak Lanjut
Usai sesi tanya jawab, peserta dibagi ke dalam lima kelompok untuk mendiskusikan paparan narasumber dan menggumuli dua pertanyaan reflektif: bagaimana gereja merespons darurat perlindungan anak, dan langkah strategis apa yang harus dilakukan gereja.
Beberapa poin penting yang dihasilkan dari diskusi kelompok dan mengemuka sebagai rekomendasi antara lain:
- PGI perlu mendorong semua anggota sinodenya untuk memiliki kebijakan safeguarding policy.
- Melakukan sosialisasi pilot project Gereja Ramah Anak (GRA) yang mengacu pada standar GRA KPPA dan Kemenag Bimas Kristen.
- Melibatkan women crisis center untuk sosialisasi dan penanganan kasus.
- Melakukan konseling pastoral kepada korban kekerasan.
- Membangun kolaborasi antara pemerintah dan gereja dalam upaya perlindungan anak.
- PGI dan sinode-sinode perlu menggalakkan edukasi kepada pemimpin sinode, pendeta, pembina remaja/guru Sekolah Minggu.
- Diperlukan sosialisasi dan edukasi yang berjenjang dan berkesinambungan tentang perlindungan anak.
(Pewarta : Markus Saragih/ Editor : Dharma Leksana)