
Nats : (Ayub 1:21)
Tuhan, aku lelah… !!
Beban di pundakku terlalu berat,
Langkahku gontai, nafas tersengal.
Jalan di depan tampak kelam,
Seperti terowongan tanpa ujung terang.
Kemarin, tawa menghiasi hari,
Mentari bersinar di ladang berkat.
Harta melimpah, kasih merangkul,
Seolah badai takkan pernah bertamu.
Kini, semua direnggut tiba-tiba,
Hancur lebur, luluh lantak nestapa.
Seperti Ayub, di tanah Us sana,
Yang dicoba melampaui batas manusia.
Dari singgasana kemuliaan,
Terjatuh ke lembah kesakitan.
Tubuh meradang, jiwa menjerit,
Sahabat mencerca, tanya menghimpit.
Mengapa, oh Tuhan, mengapa begini?
Bukankah setulus hati ku mengabdi?
Air mata membasahi pipi,
Hati berteriak, “Aku tak sanggup lagi!”
Namun, kisah Ayub berbisik lirih,
Tentang iman yang takkan musnah,
Di tengah badai yang paling perih.
Tentang keyakinan pada Sang Empunya hidup,
Yang memegang kendali,
meski tak kumengerti maksud.
Aku belajar dari Ayub yang teguh,
Untuk tidak mengutuk, walau remuk redam.
Untuk tidak menyerah pada keadaan pilu,
Sebab tangan-Mu berkuasa, melebihi paham.
Biarlah kelelahan ini menjadi ziarah,
Menuju pengenalan akan-Mu yang lebih dalam.
Memurnikan hati, menguatkan pasrah,
Menanti janji-Mu yang takkan padam.
Aku lelah, ya Tuhan,
Tapi aku memilih untuk percaya.
Sebab kutahu, setelah badai berlalu,
Pemulihan-Mu jauh lebih mulia.
Seperti Ayub yang dipulihkan ganda,
Iman ini berpegang pada firman setia.
Maka dalam lelah ini, aku berserah,
Pada waktu-Mu yang sempurna.
Kutahu Engkau tak pernah salah,
Dan kemuliaan-Mu akan nyata.
(Dh.L.)
Saudara-saudariku yang terkasih dalam Tuhan,
Shalom!
Kita semua pasti pernah merasakan yang namanya lelah. Lelah karena beban hidup yang menumpuk, lelah karena masalah yang tak kunjung usai, lelah karena merasa perjuangan kita seolah tak berbuah. Bahkan, mungkin ada di antara kita saat ini yang merasa sangat lelah, seperti di titik nadar, di mana harapan terasa begitu jauh. Dalam momen-momen seperti ini, seringkali kita bertanya, “Mengapa ini terjadi padaku, Tuhan?” atau bahkan meratap, “TUHAN, AKU LELAH.”
Jika saat ini Saudara merasakan kelelahan yang mendalam, izinkanlah saya mengajak kita merenungkan sebuah kisah luar biasa dari Alkitab, kisah tentang Ayub. Kisah ini adalah potret nyata tentang bagaimana penderitaan dapat melanda hidup seseorang, bahkan orang yang benar di hadapan Tuhan sekalipun.
Ayub digambarkan sebagai seorang yang saleh, jujur, takut akan Allah, dan menjauhi kejahatan. Ia diberkati Tuhan dengan luar biasa, memiliki kekayaan yang melimpah, keluarga yang harmonis, dan kehormatan di tengah masyarakat. Hidupnya seolah sempurna, berjalan dalam kelimpahan dan kebahagiaan.
Namun, di balik tirai realitas duniawi, ada pergumulan rohani yang terjadi. Iblis meragukan kesetiaan Ayub, menuduh bahwa Ayub taat hanya karena berkat yang ia terima. Di hadapan Tuhan, Iblis meminta izin untuk mencobai Ayub, menguji sejauh mana Ayub akan tetap setia bahkan ketika segalanya direnggut darinya.
Tuhan mengizinkan Iblis mencobai Ayub, namun dengan batasan – nyawa Ayub tidak boleh diambil. Dan terjadilah serangkaian malapetaka yang mengerikan. Dalam sekejap, Ayub kehilangan seluruh hartanya, budak-budaknya, bahkan sepuluh anaknya tercinta dalam bencana yang beruntun. Belum cukup sampai di situ, Ayub juga ditimpa penyakit kulit yang parah, membuatnya menderita secara fisik dan dikucilkan.
Bayangkan posisi Ayub saat itu. Dari puncak kebahagiaan dan kelimpahan, ia jatuh terpuruk ke lembah penderitaan yang paling dalam. Ia kehilangan segalanya yang berharga baginya. Sahabat-sahabatnya datang, yang seharusnya menghibur, justru berdebat dengannya, menuduh Ayub pasti telah melakukan dosa besar sehingga ditimpa malapetaka sedahsyat itu. Istrinya pun terguncang dan menyuruhnya mengutuki Allah dan mati.
Dalam kondisi seperti ini, sangat wajar jika Ayub merasa lelah, putus asa, bahkan mungkin marah. Ia meratap, mempertanyakan mengapa ia harus mengalami semua ini. Kata-katanya mencerminkan kepedihan yang mendalam, kebingungan, dan kerinduan akan pemahaman.
Namun, di tengah badai penderitaan dan kebingungan itu, Ayub menunjukkan sesuatu yang luar biasa: keteguhan iman. Meskipun ia tidak mengerti mengapa semua ini terjadi, meskipun ia bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan pelik, Ayub menolak untuk mengutuk Allah. Ia berucap, “TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” (Ayub 1:21). Ia mengakui kedaulatan Allah, bahkan dalam kepedihan yang teramat sangat.
Pergumulan Ayub terus berlanjut, ia berdebat dengan sahabat-sahabatnya yang terpaku pada pemahaman sempit tentang hubungan dosa dan penderitaan. Hingga akhirnya, Tuhan sendiri berbicara kepada Ayub dari dalam badai. Tuhan tidak menjelaskan secara rinci mengapa Ayub menderita, tetapi Ia menyatakan kebesaran dan kedaulatan-Nya yang tak terbatas.
Di hadapan keagungan Tuhan, Ayub merendahkan diri. Ia menyadari keterbatasannya sebagai manusia untuk memahami rencana dan jalan Tuhan sepenuhnya. Ia mencabut perkataannya yang gegabah dan bertobat dalam debu dan abu.
Dan di sinilah keajaiban terjadi. Setelah Ayub melewati ujian yang berat ini, setelah ia tetap setia dan merendahkan diri di hadapan Tuhan, Tuhan memulihkan keadaannya. Tuhan memberikan kepada Ayub dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu. Ia juga memberkati Ayub dengan anak-anak yang baru dan Ayub hidup panjang umur melihat cucu-cicitnya. Keadaan Ayub dipulihkan, bahkan menjadi jauh lebih mulia dari sebelumnya.
Saudara-saudariku, kisah Ayub memberikan kita pelajaran yang sangat berharga, terutama ketika kita merasa lelah dalam menghadapi cobaan hidup:
Pertama, penderitaan tidak selalu merupakan akibat langsung dari dosa. Kisah Ayub dengan jelas menunjukkan bahwa orang benar pun dapat mengalami penderitaan. Ada dimensi rohani di balik apa yang terjadi di dunia ini, pergumulan antara kuasa terang dan kuasa gelap.
Kedua, kesetiaan di tengah penderitaan adalah ujian iman yang memurnikan. Seperti emas yang diuji dalam api, iman kita pun diuji melalui kesukaran. Ketahanan dan kesetiaan kita di saat-saat tergelap justru memancarkan kemuliaan Tuhan.
Ketiga, kita mungkin tidak selalu memahami mengapa Tuhan mengizinkan sesuatu terjadi, tetapi kita bisa percaya kepada siapa kita percaya. Ayub tidak mendapatkan jawaban instan atas semua pertanyaannya, tetapi perjumpaan dengan Tuhan menguatkan imannya dan membawanya pada ketundukan.
Keempat, Tuhan memiliki rencana dan waktu-Nya sendiri untuk pemulihan. Meskipun terasa lama dan berat, masa penderitaan bukanlah akhir dari segalanya. Jika kita tetap setia, Tuhan sanggup memulihkan, bahkan memberikan yang lebih baik dari yang pernah hilang.
Kelima, doa syafaat penting. Ayub dipulihkan setelah ia mendoakan sahabat-sahabatnya yang telah salah menilainya. Mendoakan orang lain, bahkan mereka yang mungkin telah menyakiti kita, adalah tindakan iman yang membuka pintu berkat Tuhan.
Jadi, ketika Saudara merasa “TUHAN, AKU LELAH,” ingatlah Ayub. Ingatlah bahwa di tengah kelelahan, kepedihan, dan kebingungan Ayub, ia memilih untuk tetap percaya. Ia memilih untuk tidak mengutuk Allah, meskipun hidupnya terasa hancur.
Belajarlah dari Ayub untuk tetap berpegang teguh pada iman Saudara. Belajarlah untuk tidak menyerah pada keputusasaan. Belajarlah untuk percaya bahwa Tuhan yang memulai pekerjaan baik dalam hidup Saudara akan menyelesaikannya.
Mungkin saat ini Saudara belum melihat jalan keluarnya, belum memahami mengapa badai ini harus menerpa. Tapi percayalah, sama seperti Ayub, jika Saudara tetap setia, merendahkan diri di hadapan Tuhan, dan terus berharap kepada-Nya, akan tiba waktunya pemulihan itu datang. Tuhan sanggup mengembalikan yang hilang, melipatgandakan berkat, dan menjadikan hidup Saudara lebih mulia dari sebelumnya.
Teruslah berharap, teruslah berdoa, teruslah percaya. Tangan Tuhan tidak kurang panjang untuk menjangkau Saudara, dan kasih setia-Nya tidak pernah berkesudahan.
Amin.