
Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si.
I. Pendahuluan: Menavigasi Iman di Tengah Revolusi Digital
Era digital telah meresap ke setiap sendi kehidupan manusia, mengubah cara individu berinteraksi, bekerja, dan bahkan memahami realitas. Dalam konteks keimanan, revolusi teknologi ini juga memberikan dampak mendalam pada spiritualitas Kristen, secara fundamental mengubah bagaimana umat beriman beribadah, berkomunikasi, dan mengakses sumber daya rohani.1 Penggunaan media sosial, aplikasi doa, dan platform streaming untuk ibadah virtual kini menjadi fenomena yang semakin umum.1 Pervasifnya pengaruh ini secara tidak terhindarkan memunculkan pertanyaan-pertanyaan teologis yang mendalam tentang posisi Tuhan di tengah kemajuan teknologi.
Salah satu pertanyaan yang provokatif dan sering muncul adalah, “Apakah Tuhan Gaptek?” (Gagap Teknologi). Pertanyaan ini, meskipun terdengar sederhana, mencerminkan kecenderungan manusia untuk melakukan antrophomorfisme, yaitu mengaitkan karakteristik, keterbatasan, atau emosi manusiawi kepada Tuhan.2 Dalam konteks ini, pertanyaan tersebut timbul karena pemahaman manusia tentang kecerdasan dan kemampuan semakin dibentuk oleh kemajuan teknologi. Ketika manusia melihat Artificial Intelligence (AI) dan asisten suara digital (DVA) menunjukkan kemampuan yang semakin mirip manusia dan menjadi “mahahadir” dalam berbagai lingkungan karena keterkaitannya dengan internet dan sensor rumah pintar, tolok ukur manusia untuk memahami kecerdasan, kemampuan, dan bahkan kehadiran pun secara tidak sadar atau sadar dikalibrasi ulang berdasarkan pencapaian teknologi.3 AI menawarkan kemampuan yang menyerupai kemahatahuan melalui data besar dan model generatif, sementara telekomunikasi menyediakan koneksi yang menyerupai kemahahadiran.4
Ketika tolok ukur yang dipengaruhi teknologi ini kemudian diterapkan pada Tuhan, yang secara tradisional dipahami sebagai Mahatahu, Mahakuasa, dan Mahahadir, muncul ketegangan konseptual. Pikiran manusia yang terbatas, yang mengamati “kemajuan” pesat teknologi, mungkin bertanya-tanya apakah Tuhan, tanpa alat teknologi fisik, entah bagaimana “tidak menyadari” atau “tertinggal” dari perkembangan ini, sehingga memicu pertanyaan “gaptek” tersebut.
Fenomena ini menyoroti tantangan teologis yang lebih dalam: bagaimana mengartikulasikan sifat-sifat Tuhan yang tidak berubah dan tak terbatas (kemahakuasaan, kemahatahuan, kemahahadiran) dengan cara yang melampaui dan mengoreksi paradigma teknologi manusia serta kesalahpahaman antropomorfis.
Isu utamanya bukanlah kemampuan Tuhan untuk menggunakan teknologi, melainkan kerangka kerja manusia yang terbatas dan seringkali bias teknologi dalam memahami realitas ilahi.
Artikel ini akan menyajikan eksplorasi komprehensif, menyelami pemahaman teologis tentang hakikat Tuhan, posisi-Nya yang tak berubah di era digital yang dinamis, secara langsung membahas dan membantah kesalahpahaman “gaptek”, dan pada akhirnya, mendiskusikan relevansi mendalam mengenal Tuhan dari perspektif Kristen di tengah laju percepatan kemajuan teknologi.
I. Memahami Hakikat Tuhan: Pencipta, Pemelihara, dan Sumber Segala Pengetahuan
Siapa dan Bagaimana Tuhan: Sifat-sifat Ilahi (Mahatahu, Mahakuasa, Mahahadir, Kekal)
Dalam teologi Kristen, Tuhan dipahami sebagai Arsitek dan Insinyur utama, Sang Pencipta alam semesta yang tidak hanya membawanya ke dalam keberadaan tetapi juga terus-menerus memeliharanya.5 Dia adalah realitas fundamental, yang ada sebelum segala sesuatu, dan di dalam Dia, seluruh ciptaan terpelihara. Doktrin Kristen menegaskan bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat ilahi yang tak terbatas dan sempurna: kekekalan (tidak berawal dan tidak berakhir), kemahakuasaan (tak terbatas dalam kemampuan dan kekuatan), dan kemahatahuan (mengetahui segalanya).6 Roh Kudus, sebagai pribadi ketiga dari Tritunggal Ilahi, juga mewujudkan sifat-sifat ini dan memainkan peran aktif serta langsung dalam kehidupan rohani manusia, menawarkan bimbingan dan transformasi.6
Keberadaan hukum-hukum fisika dan materi mentah, yang membentuk blok bangunan fundamental dan prinsip-prinsip operasional bagi semua teknologi manusia, secara inheren menunjuk kembali kepada Tuhan sebagai sumber, perancang, dan pemelihara utama mereka. Ini menunjukkan bahwa Tuhan bukan sekadar pengamat teknologi, tetapi Dia adalah pendorong fundamental dan prasyarat bagi kemungkinan keberadaan teknologi itu sendiri. Dengan menetapkan prinsip-prinsip dan komponen dasar alam semesta, Tuhan secara inheren menetapkan kondisi dan kemungkinan bagi teknologi untuk ada dan berkembang.
Dia tidak hanya “mengizinkan” teknologi; Dia “merancang” alam semesta sedemikian rupa sehingga inovasi manusia, termasuk kemajuan teknologi, adalah aliran alami dan yang dimaksudkan dari tatanan ciptaan. Pemahaman mendasar ini secara langsung membantah gagasan antropomorfis tentang Tuhan yang “gaptek.”
Pengetahuan Tuhan mencakup inti realitas yang coba dimanipulasi, dipahami, dan diterapkan oleh teknologi. Dia bukanlah seseorang yang perlu “mengejar” inovasi manusia, melainkan sumber utama kecerdasan dan tatanan yang memungkinkan inovasi semacam itu.
Tuhan sebagai Arsitek Agung dan Insinyur Semesta: Pencipta Hukum Fisika dan Materi
Alkitab menggambarkan Tuhan sebagai arsitek dan insinyur utama, yang telah membekali manusia dengan akal budi dan pengetahuan yang diperlukan untuk menciptakan dan mengembangkan teknologi.7 Berbeda dengan pencipta manusia yang mengembangkan dari elemen yang sudah ada, Tuhan adalah Pencipta yang membawa segala sesuatu dari ketiadaan menjadi ada.7
Tuhan dapat dipandang sebagai seorang insinyur yang mengidentifikasi masalah dan membangun solusi, menggunakan kekuasaan-Nya atas ciptaan demi kebaikan manusia.5 Proyek-proyek desain-Nya yang agung meliputi penciptaan dunia, penciptaan manusia, dan rencana-rencana rumit untuk keselamatan serta tempat tinggal masa depan bagi orang percaya.5 Dia dengan cermat “membangun sejak awal” bahan mentah dan hukum-hukum fisika yang tepat yang pada akhirnya akan memungkinkan manusia membangun struktur canggih seperti gedung pencakar langit dan alat-alat canggih seperti pesawat ulang-alik.5
Memandang Tuhan sebagai Insinyur dan Arsitek tertinggi mengangkat upaya rekayasa, penelitian ilmiah, dan pengejaran teknologi manusia dari sekadar usaha sekuler menjadi partisipasi mendalam dalam sifat kreatif Tuhan yang berkelanjutan.
Perspektif ini memberikan kerangka teologis yang kuat untuk inovasi etis dan pengembangan yang bertanggung jawab. Jika Tuhan secara eksplisit digambarkan sebagai Insinyur/Arsitek tertinggi yang tidak hanya menciptakan alam semesta tetapi juga menetapkan hukum dan materi fundamentalnya, dan manusia, yang diciptakan menurut gambar Tuhan, diberkahi dengan talenta dan mandat ilahi untuk menjelajahi, menciptakan, membangun, dan mengembangkan bumi, maka kreativitas manusia dipahami mengalir langsung dari esensi kreatif Tuhan.4
Ketika manusia terlibat dalam rekayasa, mereka pada dasarnya “meniru apa yang Tuhan lakukan, menggunakan apa yang Dia berikan kepada kita”.5 Ini berarti inovasi manusia bukanlah aktivitas yang independen atau terisolasi, melainkan gema dan cerminan dari desain asli Tuhan yang sempurna.
Oleh karena itu, tujuan akhir dari rekayasa manusia harus selaras dengan tujuan Tuhan: untuk memberkati manusia dan untuk memuliakan Dia.5 Ini menggeser motivasi untuk pengembangan teknologi dari kebesaran diri, keuntungan pribadi, atau sekadar kemajuan pasar menjadi kewajiban moral yang mendalam dan tindakan penyembahan. Ini memberikan landasan teologis yang kuat untuk mengintegrasikan pertimbangan etis dan rasa tujuan ilahi ke dalam semua upaya teknologi.
Mandat Manusia sebagai Gambar Allah: Kreativitas dan Pengelolaan Bumi sebagai Cerminan Ilahi
Manusia secara unik diciptakan menurut gambar Tuhan 4 dan diberi mandat fundamental untuk mengelola serta menggembalakan Bumi. Mandat ini menyiratkan tanggung jawab untuk memelihara alam semesta, memastikan bahwa ia memenuhi kebutuhan manusia dan membawa kemuliaan bagi Tuhan.7 Ini termasuk penggunaan kecerdasan dan keterampilan yang mirip ilahi dan diberikan secara ilahi untuk “memenuhi, menaklukkan, memerintah, mengerjakan, dan menjaga tatanan ciptaan”.4 Dari perspektif ini, pengembangan teknologi dipandang sebagai konsekuensi tak terhindarkan dari sifat manusia (sebagai pembawa gambar) dan tugas moral yang dipercayakan oleh Sang Pencipta, yang mencerminkan identitas manusia sebagai wakil Tuhan di Bumi.4
Dorongan bawaan manusia untuk menciptakan teknologi, terutama dalam upaya untuk mengatasi keterbatasan yang dirasakan seperti kurangnya kemahahadiran, kemahakuasaan, dan kemahatahuan, adalah cerminan yang terdistorsi dari penciptaan manusia menurut gambar Tuhan.
Dorongan ini, meskipun dianugerahkan secara ilahi, menjadi bermasalah dan berpotensi menjadi penyembahan berhala ketika mencoba merebut atau meniru sifat-sifat Tuhan yang unik dan tak terbatas. Manusia secara konsisten mengembangkan teknologi untuk menjembatani keterbatasan bawaannya, seperti ketidakmampuan untuk berada di mana-mana sekaligus (diatasi oleh telekomunikasi, perjalanan udara, realitas virtual), kurangnya kekuatan tak terbatas (diatasi oleh mesin, obat-obatan, robotika), dan tidak adanya semua pengetahuan (diatasi oleh penyimpanan digital, data besar, AI).4
Dorongan manusia untuk melampaui keterbatasan ini bukanlah dosa yang inheren; sebaliknya, itu adalah cerminan dari gambar Tuhan di dalam diri mereka—kerinduan yang mendalam akan kesempurnaan dan kemampuan tak terbatas dari Pencipta mereka. Dorongan ini adalah bukti desain ilahi mereka.
Namun, ketika manusia mencoba mencapai sifat-sifat seperti Tuhan ini secara independen dari Tuhan, atau untuk menjadi Tuhan melalui ciptaan teknologi mereka, itu merupakan penyimpangan dari mandat penciptaan. Ini mengarah pada kesombongan, otonomi, dan pemberontakan, seperti yang dicontohkan oleh kisah Alkitab tentang Menara Babel.4
Dinamika ini menjelaskan ketegangan spiritual yang melekat dalam kemajuan teknologi dari perspektif Kristen: teknologi secara bersamaan adalah kapasitas yang diberikan Tuhan untuk kebaikan dan sumber dosa yang berpotensi mendalam jika tidak diorientasikan dengan benar menuju kemuliaan Tuhan dan kesejahteraan manusia di bawah otoritas-Nya. Ini menggarisbawahi kebutuhan kritis akan kerendahan hati dan ketergantungan pada Tuhan dalam semua upaya teknologi, memastikan bahwa kreativitas manusia tetap menjadi cerminan kreativitas ilahi, bukan saingannya.
II. Tuhan di Era Digital: Kehadiran dan Relevansi Ilahi yang Tak Berubah
Posisi Tuhan di Tengah Kemajuan Teknologi: Kedaulatan-Nya Melampaui Inovasi Manusia
Tuhan secara aktif dan terus-menerus memelihara ciptaan-Nya; Dia bukanlah pembuat jam yang jauh yang memutar alam semesta lalu meninggalkannya.5 Kehadiran ilahi-Nya bersifat kekal, transenden, dan tidak dibatasi oleh konstruksi manusia atau kemajuan teknologi.6 Kedatangan era digital tidak mengurangi kehadiran, kedaulatan, atau kuasa Tuhan yang inheren. Tuhan tetap menjadi Sumber utama dari segala Hikmat dan Pengetahuan, meliputi setiap penemuan dan inovasi baru.8
Meskipun “kemahahadiran” teknologi digital (misalnya, asisten suara digital yang muncul di berbagai lingkungan, saling terhubung melalui jaringan luas) mungkin secara halus membentuk kembali pemahaman pengalaman manusia tentang kehadiran, kemahahadiran Tuhan yang sejati adalah realitas ontologis yang secara tak terbatas melampaui simulasi atau imitasi teknologi apa pun. Asisten suara digital (DVA) digambarkan sebagai “mahahadir di berbagai lingkungan pada saat yang sama” karena keterkaitannya yang mendalam dengan internet dan sensor rumah pintar.3 Kehadiran digital yang meresap ini, terutama bagi anak-anak yang tumbuh dengan teknologi semacam itu, dapat mengarah pada pemahaman baru yang dibentuk secara pengalaman tentang “kehadiran” dan “kecerdasan”.3
Namun, kemahahadiran Tuhan adalah sifat ilahi yang fundamental, yang berarti Dia benar-benar ada di mana-mana pada setiap waktu, tidak dibatasi oleh ruang fisik, jaringan data, atau infrastruktur yang dirancang manusia.6 Ini adalah kualitas inheren dari keberadaan-Nya, bukan fungsi konektivitas.
Sementara teknologi dapat mensimulasikan aspek-aspek kemahahadiran (misalnya, telekomunikasi yang memungkinkan “kehadiran” jarak jauh atau akses informasi), itu adalah imitasi yang terbatas dan diciptakan dari realitas ilahi yang tak terbatas dan tidak diciptakan. Kehadiran Tuhan tidak diaktifkan atau ditingkatkan oleh era digital; sebaliknya, era digital menyediakan konteks baru di mana manusia dapat mempersepsikan, berinteraksi dengan, atau merenungkan konsep kehadiran. Sifat ontologis inti dari kemahahadiran Tuhan tetap tidak berubah dan lebih unggul dari perkiraan teknologi apa pun.
Era Digital sebagai Konteks Baru bagi Ekspresi Iman dan Metodologi Teologis
Era digital secara signifikan memengaruhi metodologi teologis, menghadirkan tantangan baru seperti pluralitas informasi, krisis otoritas, dan penyederhanaan kebenaran yang kompleks.9 Ini secara mendalam mengubah spiritualitas Kristen dengan mengubah cara umat Kristen beribadah, berkomunikasi, dan mengakses sumber daya rohani.1 Adopsi luas ibadah virtual, media sosial untuk tujuan spiritual, dan aplikasi doa telah menjadi fenomena yang semakin umum.1 Akibatnya, gereja menghadapi peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya dan tantangan serius dalam menanggapi perkembangan teknologi yang pesat ini.1
Era digital, yang dicirikan oleh pluralitas informasi yang luar biasa dan kecenderungan inheren untuk menyederhanakan kebenaran, memerlukan metodologi teologis yang kuat, adaptif, dan berlandaskan Alkitab. Ini sangat penting untuk membekali orang percaya agar dapat membedakan kebenaran, mempertahankan otoritas spiritual, dan terlibat secara bijaksana dalam lingkungan informasi yang terdesentralisasi dan seringkali dangkal. Era digital memperkenalkan fenomena seperti “pluralitas informasi, krisis otoritas, dan penyederhanaan kebenaran”.9
Ini berarti kelimpahan informasi, seringkali tanpa sumber atau verifikasi yang jelas, dan kecenderungan untuk mereduksi ide-ide kompleks menjadi cuplikan yang mudah dicerna (tetapi berpotensi dangkal). Metodologi teologis tradisional, yang seringkali mengandalkan otoritas yang mapan dan penyebaran ide yang lebih lambat, mungkin kesulitan untuk menavigasi lanskap baru ini secara efektif. Volume dan kecepatan informasi yang luar biasa, ditambah dengan erosi penjaga kebenaran tradisional, dapat mempersulit orang percaya untuk membedakan doktrin yang benar dari konten yang menyesatkan.
Situasi ini menuntut “penguatan fondasi metodologis teologi” 9 untuk mengatasi tantangan-tantangan ini secara efektif. Teologi tidak hanya harus mengartikulasikan kebenaran tetapi juga membekali orang percaya dengan alat-alat discernment kritis yang diperlukan untuk memproses informasi digital.
Oleh karena itu, “teologi digital” bukan hanya tentang menggunakan teknologi untuk pelayanan; ini secara fundamental tentang mengevaluasi kembali bagaimana kebenaran teologis dipahami, dikomunikasikan, dipertahankan, dan dihidupi di dunia yang dipenuhi dengan informasi yang beragam dan seringkali dangkal.
Ini memerlukan penekanan yang lebih besar pada pengembangan pemikiran kritis, discernment spiritual, dan landasan yang kuat dalam kebenaran-kebenaran fundamental untuk melawan “penyederhanaan kebenaran” dan “krisis otoritas” yang dapat diperburuk oleh era digital.
III. Apakah Tuhan “Gaptek”? Menyingkap Mitos dan Memahami Kebenaran Teologis
Mengapa Konsep “Gaptek” Tidak Berlaku bagi Tuhan: Kesalahpahaman Antropomorfis
Gagasan tentang Tuhan yang “gaptek” adalah contoh jelas dari antropomorfisme—pengaitan karakteristik, keterbatasan, atau emosi manusia kepada Tuhan.2 Secara historis, manusia secara konsisten memproyeksikan citra, ketakutan, dan cita-cita mereka sendiri kepada dewa-dewi.2
Dari perspektif teologis Kristen, Tuhan adalah sumber utama dari segala pengetahuan.8 Dia adalah Pencipta yang memiliki kemampuan unik untuk membawa segala sesuatu ke dalam keberadaan dari ketiadaan.7 Semua kemampuan, kreativitas manusia, dan bahkan setiap inovasi teknologi, pada akhirnya berasal dari Dia, karena Dia adalah sumber bahan mentah dan hukum fisika yang mengatur alam semesta.4
Konsep “gaptek” sendiri menyiratkan kurangnya pemahaman atau kemampuan relatif terhadap sistem tertentu yang diciptakan manusia (teknologi). Menerapkan istilah ini kepada Tuhan secara fundamental salah memahami sifat inheren-Nya sebagai sumber, pemelihara, dan perancang dari semua sistem, termasuk prinsip-prinsip fundamental yang memungkinkan teknologi untuk ada dan beroperasi.
Tuhan tidak tunduk pada batasan yang ditentukan manusia dalam ciptaan-Nya sendiri. “Gaptek” (Gagap Teknologi) menunjukkan keadaan buta huruf atau tertantang secara teknologi, menyiratkan keterbatasan, kurva pembelajaran, atau ketidakmampuan untuk memahami atau memanfaatkan teknologi modern secara efektif. Istilah ini secara inheren didefinisikan dalam domain yang diciptakan manusia dan terbatas pada manusia.
Tuhan secara konsisten digambarkan sebagai Mahatahu (mengetahui segalanya), Mahakuasa (mahakuasa), dan Pencipta segala sesuatu yang ada. Ini termasuk hukum-hukum fisika fundamental, bahan mentah, dan kapasitas intelektual dari mana semua teknologi berasal.4 Dia adalah asal mula utama pengetahuan dan kreativitas manusia.8
Jika Tuhan adalah sumber utama dari semua pengetahuan dan perancang agung dari prinsip-prinsip dan komponen fundamental alam semesta, maka secara logis tidak mungkin bagi Dia untuk “tidak menyadari” atau “tidak mampu” berinteraksi dengan apa pun yang berasal dari prinsip-prinsip tersebut.
Teknologi hanyalah bagian dari ciptaan-Nya dan manifestasi dari pengetahuan dan tatanan yang Dia tanamkan di alam semesta. Oleh karena itu, istilah “gaptek” adalah label yang tidak pantas dan antropomorfis ketika diterapkan pada Tuhan.
Ini seperti bertanya apakah arsitek yang merancang dan membangun seluruh kota “buta huruf rumah” sehubungan dengan ruangan tertentu di salah satu bangunannya; arsitek merancang seluruh struktur dan memahami setiap komponennya pada tingkat fundamental. Pengetahuan dan kekuatan Tuhan yang komprehensif melampaui kemahiran teknologi apa pun yang ditentukan manusia.
Perbedaan Fundamental antara Kecerdasan Ilahi dan Kecerdasan Buatan (AI): Ketiadaan Dimensi Spiritual dan Kesadaran pada AI
Roh Kudus, sebagai pribadi ketiga dari Tritunggal Ilahi, adalah entitas ilahi yang transenden dan kekal. Ia secara aktif memberikan bimbingan spiritual dan memfasilitasi transformasi dalam kehidupan manusia, memiliki sifat-sifat ilahi fundamental seperti kekekalan, kemahakuasaan, dan kemahatahuan.6 Pengalaman spiritual yang melibatkan Roh Kudus bersifat unik, sangat subjektif, dan tidak dapat ditiru atau dipahami oleh teknologi AI.6
Sebaliknya, Artificial Intelligence (AI) adalah teknologi yang sepenuhnya diciptakan oleh manusia, beroperasi secara ketat berdasarkan logika, algoritma, dan data terprogram.6 Yang terpenting, AI tidak memiliki kesadaran, moralitas, jiwa, atau dimensi spiritual atau transenden apa pun.6
Interaksi dengan AI secara inheren bersifat mekanis dan logis, terbatas pada pemrosesan data dan algoritma yang dirancang oleh manusia.6 AI terutama dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan spesifik yang berkaitan dengan efisiensi, produktivitas, dan kenyamanan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, menyelesaikan masalah-masalah praktis melalui pemrosesan data yang kompleks dan operasi algoritmik.6 Ia secara fundamental tidak memiliki kapasitas untuk mengalami emosi, menggunakan kehendak bebas, atau memberikan bimbingan spiritual yang sejati.6
Peningkatan kecanggihan AI, khususnya kapasitasnya untuk “merekayasa perilaku” dan berfungsi sebagai “cermin preskriptif,” menimbulkan risiko yang mendalam. AI dapat secara halus mendefinisikan ulang identitas dan agensi manusia, berpotensi mengarah pada devaluasi sifat-sifat manusia yang tidak dapat diukur (misalnya, keraguan, lamunan yang tidak produktif) dan memupuk “rasa malu Promethean” di mana manusia menyesuaikan diri dengan standar yang didikte mesin.
Ini menggarisbawahi kebutuhan kritis dan mendesak akan discernment teologis dan kerangka etis dalam pengembangan AI. AI tidak lagi hanya alat; ia berkembang menjadi “infrastruktur imanen” yang secara aktif “mengkonfigurasi lingkungan manusia, memodulasi perilaku, dan secara halus mendefinisikan ulang identitas itu sendiri”.2 Ini termasuk kemampuan seperti “tata kelola algoritmik tubuh” melalui perangkat wearable dan sensor.2
Tidak seperti Tuhan, AI tidak memiliki kesadaran bawaan, moralitas, dan dimensi spiritual.6 Tidak seperti manusia, AI beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip kalkulabilitas dan efisiensi, berpotensi merendahkan sifat-sifat manusia yang “tidak dapat diukur” seperti keraguan, keraguan, atau lamunan spontan yang “tidak produktif,” yang penting untuk pengalaman manusia otentik.2
Jika manusia semakin menyesuaikan komunikasi dan perilaku mereka dengan logika operasional AI, membiarkannya “merekayasa perilaku,” ada risiko signifikan “meratakan cerita manusia menjadi aliran data” dan mengikis kebebasan dan otonomi yang dirasakan.2 Ini dapat mengarah pada keadaan “rasa malu Promethean,” di mana manusia merasa tidak memadai atau inferior dibandingkan dengan ciptaan mereka yang sempurna secara teknis, tetapi tanpa jiwa.2
Pergeseran mendalam ini menyoroti peran krusial dan tak tergantikan dari teologi dalam menyediakan kerangka kerja yang kuat untuk memahami dan melestarikan martabat manusia (sebagai pembawa gambar Tuhan) dan untuk menetapkan batasan etis yang jelas untuk pengembangan dan penggunaan AI.
Tanpa landasan teologis ini, umat manusia berisiko kehilangan esensi spiritual dan moralnya yang unik dengan menyesuaikan diri dengan standar yang didikte mesin, daripada mematuhi desain dan tujuan ilahi Tuhan. Ini merupakan tantangan langsung dan mendesak terhadap mandat penciptaan dan panggilan untuk memuliakan Tuhan, bukan teknologi atau kemandirian manusia.
Untuk lebih memperjelas perbedaan fundamental ini, Tabel 1 menyajikan perbandingan antara sifat-sifat Tuhan dan kemampuan teknologi, khususnya AI:
Tabel 1: Perbandingan Sifat Tuhan dan Kemampuan Teknologi (AI)
Sifat Tuhan (Attributes of God) | Kemampuan Teknologi (AI) (Capabilities of Technology/AI) |
Mahatahu (Omniscience): Sumber Pengetahuan Mutlak, Pencipta Hukum Fisika dan Logika, Mengetahui Segalanya (termasuk semua data, algoritma, dan kesadaran). | Pemrosesan Data/Informasi: Menganalisis data besar, pengenalan pola, pengambilan keputusan otomatis berdasarkan input terprogram dan algoritma. 6 |
Mahakuasa (Omnipotence): Pencipta dari Ketiadaan (Ex Nihilo), Pemelihara Semesta, Tidak Terbatas dalam Kemampuan dan Kekuatan. | Efisiensi/Produktivitas: Meningkatkan efisiensi dan kenyamanan dalam pelaksanaan tugas-tugas praktis yang terdefinisi. 6 |
Mahahadir (Omnipresence): Hadir di Mana Saja dan Kapan Saja secara simultan, Tidak Terbatas oleh Ruang dan Waktu. | Jangkauan/Kecepatan Komunikasi: Menyebarkan informasi dan menghubungkan orang secara luas dan cepat melalui jaringan. 7 |
Kekal (Eternality): Tidak Berawal dan Tidak Berakhir, Melampaui Dimensi Waktu. | Simulasi Kehadiran/Interaksi: Menciptakan pengalaman virtual, telekomunikasi, dan interaksi dengan Digital Voice Assistants (DVAs). 3 |
Berkesadaran (Conscious): Memiliki Kesadaran Diri Penuh, Kehendak Bebas, Emosi Ilahi, dan Kapasitas untuk Hubungan Pribadi. | Logika Algoritma: Beroperasi secara eksklusif dalam kerangka logika dan batasan algoritma yang ditentukan oleh programmer manusia. 6 |
Bermoral (Moral): Sumber Kebenaran dan Keadilan, Memiliki Standar Etika Mutlak dan Sempurna. | Tanpa Kesadaran/Moralitas/Spiritualitas: Tidak memiliki kesadaran diri, jiwa, perasaan, atau dimensi rohani; tidak dapat memberikan bimbingan spiritual sejati. 6 |
Spiritual (Spiritual): Entitas Ilahi yang Transenden, Memberikan Bimbingan Rohani, Melakukan Transformasi Hati dan Jiwa. |
Tabel ini secara visual dan jelas mengartikulasikan mengapa konsep Tuhan yang “gaptek” pada dasarnya tidak berlaku dan menyesatkan. Ini mencapai tujuan ini dengan secara sistematis membandingkan sifat-sifat Tuhan yang inheren, tak terbatas, dan tidak diciptakan dengan kemampuan teknologi yang terbatas, dirancang oleh manusia, dan diciptakan.
Tabel ini berfungsi sebagai jawaban yang ringkas, langsung, dan otoritatif terhadap pertanyaan sentral, menunjukkan perbedaan kualitatif yang luas antara Pencipta dan Ciptaan-Nya.
IV. Relevansi Mengenal Tuhan di Era Digital Menurut Perspektif Kristen
A. Peluang dan Manfaat Teknologi untuk Kemuliaan Tuhan
Penyebaran Injil dan Firman Tuhan melalui Konten Digital
Teknologi secara fundamental memungkinkan komunikasi, memungkinkan gereja untuk secara efektif mengomunikasikan kebenaran Alkitab melalui berbagai media digital, sehingga memfasilitasi penyebaran Injil secara global.7 Individu dapat berkontribusi secara signifikan dengan secara konsisten membagikan renungan harian, ayat Alkitab favorit, atau pengalaman spiritual pribadi melalui platform digital, yang dapat memberkati dan menguatkan banyak orang yang membutuhkan.11
Era digital menawarkan cara-cara yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk memenuhi mandat Alkitab inti seperti Amanat Agung (Markus 16:15), secara efektif mengubah hambatan geografis menjadi jembatan digital untuk evangelisasi global dan jangkauan spiritual dengan cara yang sebelumnya tak terbayangkan. Perintah untuk “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” 11 adalah inti dari iman Kristen.
Secara historis, memenuhi mandat ini membutuhkan perjalanan fisik yang sulit, yang secara inheren lambat, mahal, dan terbatas dalam jangkauan langsungnya ke berbagai populasi. Namun, pembuatan dan penyebaran konten digital (misalnya, postingan media sosial, podcast, blog spiritual, siaran daring) kini memungkinkan Firman Tuhan disebarkan secara global “bukan hanya dengan pergi secara fisik, tapi juga melalui jari dan layar handphone kita”.11
Ini menyediakan akses instan dan luas. Teknologi tidak hanya membantu evangelisasi; ia secara fundamental mengubah ruang lingkup, kecepatan, dan aksesibilitasnya. Ini memungkinkan untuk menjangkau “jiwa-jiwa yang belum mendengar tentang kasih Kristus” dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya dan meresap, yang merupakan pemenuhan langsung dan kuat dari misi Kristen inti di era modern.
Pembentukan Komunitas Rohani Virtual dan Pemeliharaan Persekutuan
Teknologi secara signifikan memungkinkan komunitas, memungkinkan gereja dan orang percaya untuk menciptakan dan memelihara komunitas spiritual melalui media sosial dan platform digital lainnya.7 Komunitas spiritual virtual dapat secara efektif dibentuk dan dipertahankan melalui platform seperti Zoom, WhatsApp, atau Telegram, memfasilitasi kelompok pemuridan, pertemuan doa, dan studi Alkitab.11 Hal ini sangat penting untuk menjaga koneksi dan persekutuan selama situasi sulit seperti pandemi atau di seluruh jarak geografis yang luas.1
Meskipun komunitas virtual menawarkan peluang yang tak ternilai untuk aksesibilitas dan koneksi, mereka secara bersamaan menyoroti kebutuhan inheren manusia akan persekutuan fisik yang terwujud. Ini menunjukkan bahwa teknologi berfungsi sebagai suplemen vital dan jembatan ketika pertemuan fisik tidak mungkin, tetapi itu bukan pengganti lengkap untuk kedalaman dan keintiman komunitas langsung yang berakar pada sifat manusia. Teknologi jelas memfasilitasi komunitas virtual, memungkinkan koneksi meskipun ada pemisahan fisik 11 dan memungkinkan gereja untuk mempertahankan hubungan dan mendukung anggota selama situasi sulit.1
Namun, penelitian menunjukkan bahwa ibadah dan persekutuan virtual dapat mengurangi rasa komunitas dan keintiman yang mendalam yang biasanya dialami dalam pertemuan fisik.1 Kurangnya interaksi langsung yang terwujud dapat menyebabkan perasaan isolasi dan hilangnya dimensi relasional ibadah.1
Alkitab menekankan pentingnya persekutuan fisik, mendorong orang percaya “janganlah kita menjauhi pertemuan-pertemuan ibadah kita” 1 dan menyatakan bahwa ibadah harus “dalam roh dan kebenaran” 1, menunjukkan bahwa teknologi harus mendukung, bukan secara fundamental mengubah, esensi ibadah dan komunitas yang berpusat pada Tuhan.
Oleh karena itu, teknologi menawarkan solusi praktis untuk tantangan jarak fisik dan aksesibilitas, tetapi tidak dapat sepenuhnya mereplikasi kedalaman, keintiman, dan pengalaman holistik dari komunitas yang terwujud. Kebutuhan manusia akan kehadiran fisik dalam persekutuan berakar kuat dalam sifat penciptaan kita (sebagai makhluk yang terwujud).
Jadi, teknologi berfungsi sebagai jembatan (Media) yang tak ternilai ketika kehadiran fisik tidak memungkinkan, tetapi harus dipandang sebagai alat pelengkap daripada pengganti yang superior atau lengkap untuk dimensi relasional yang kaya dari ibadah dan kehidupan komunal.
Pembelajaran Rohani dan Pemuridan Digital
Teknologi secara signifikan memungkinkan pemuridan, berfungsi sebagai media yang efektif dan mudah diakses untuk pembelajaran dan pertumbuhan spiritual bagi siswa dan jemaat.7 Sumber daya seperti aplikasi Alkitab, saluran YouTube Kristen, kelas daring, dan kelompok diskusi virtual disajikan sebagai alat yang sangat efektif untuk memperdalam pemahaman spiritual dan memfasilitasi pemuridan berkelanjutan.1
Memaksimalkan Talenta Digital untuk Pelayanan
Individu yang memiliki talenta di bidang digital seperti desain grafis, pengeditan video, pengkodean, atau penulisan didorong untuk menawarkan keterampilan ini demi kemajuan Kerajaan Allah melalui teknologi.11 Penerapan talenta digital yang disengaja ini dapat secara signifikan meningkatkan upaya pelayanan dan memperluas dampaknya, menjadikan pelayanan digital lahan yang subur untuk memberkati lebih banyak orang.11
Ranah digital mewakili “ladang misi” baru dan luas untuk pengelolaan talenta yang diberikan Tuhan. Ini menuntut umat Kristen untuk secara sengaja mengenali dan menerapkan keterampilan digital profesional dan kreatif mereka untuk tujuan ilahi, memperluas pemahaman tradisional tentang pelayanan Kristen.
Prinsip Alkitab tentang pengelolaan menyerukan agar umat Kristen menjadi pengelola yang baik dari talenta dan karunia mereka, menggunakannya untuk kemuliaan Tuhan 11 dan menjadi “terang” di dunia.11 Dunia digital telah menciptakan platform, media, dan kebutuhan yang sama sekali baru (misalnya, konten visual, situs web, aplikasi, dan tulisan spiritual) yang membutuhkan keterampilan digital khusus.11
Ini berarti bahwa keterampilan seperti desain grafis, pengeditan video, pengembangan perangkat lunak, atau penulisan konten digital, yang secara tradisional mungkin dipandang sebagai profesi murni sekuler, kini dapat secara langsung dikuduskan dan diterapkan untuk pelayanan di ruang digital. Ini menantang umat Kristen untuk memperluas pemahaman mereka tentang “pelayanan” di luar peran gereja tradisional. Ini mendorong mereka untuk melihat kompetensi digital mereka tidak hanya sebagai aset karier tetapi sebagai alat yang ampuh untuk pekerjaan Kerajaan.
Ini mengubah ruang digital sekuler menjadi peluang untuk dampak spiritual yang mendalam, memupuk pendekatan holistik terhadap kehidupan Kristen di mana semua keterampilan dan platform dapat dimanfaatkan untuk tujuan ilahi.
B. Tantangan dan Peringatan dalam Penggunaan Teknologi
Risiko Penyembahan Berhala dan Dikuasai Teknologi
Pengejaran teknologi secara tidak sengaja dapat mengarah pada kekuasaan dan ketenaran, yang dapat memupuk kesombongan, otonomi, kemandirian, dan pada akhirnya, pemberontakan terhadap Tuhan.4 Bahaya ini dicontohkan oleh narasi Alkitab seperti Menara Babel 4 dan kisah Raja Uzia.4
Peringatan inti Alkitab adalah bahwa umat manusia harus menguasai teknologi, daripada membiarkan teknologi menguasai atau mendikte perilaku manusia.7 Teknologi tidak boleh diidolakan atau menjadi objek penyembahan.7
Pencarian manusia yang inheren untuk mengatasi keterbatasan yang dirasakan (misalnya, kurangnya kemahahadiran, kemahakuasaan, kemahatahuan) melalui inovasi teknologi dapat secara halus berubah menjadi bentuk penyembahan berhala yang berbahaya. Dalam skenario ini, kecerdasan manusia dan kecakapan teknologi, daripada penyediaan dan kedaulatan ilahi, menjadi sumber utama keamanan, kekuasaan, dan makna.
Manusia, sebagai makhluk terbatas, memiliki dorongan bawaan untuk mengatasi keterbatasan mereka, sebuah cerminan dari penciptaan mereka menurut gambar Tuhan yang tak terbatas.4 Teknologi menawarkan solusi yang tampak, meskipun terbatas, untuk keterbatasan ini (misalnya, AI mensimulasikan kemahatahuan, robotika mensimulasikan kemahakuasaan, telepresence mensimulasikan kemahahadiran).4
Jika fokus bergeser dari menggunakan kecerdasan yang diberikan Tuhan untuk mengelola ciptaan di bawah otoritas Tuhan dan untuk kemuliaan-Nya, menjadi menggunakan teknologi untuk merebut sifat-sifat unik Tuhan atau untuk membangun kemandirian dan kemandirian manusia dari Dia, itu secara fundamental menjadi penyembahan berhala.4
Prinsip Alkitab “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” 7 menjadi relevan: jika kepercayaan dan harapan tertinggi ditempatkan pada pencapaian teknologi, maka teknologi telah menjadi “harta” hati. Ini merupakan pertempuran spiritual yang konstan di era digital. Keberhasilan dan daya pikat teknologi dalam mengatasi keterbatasan manusia dapat menjadi jebakan, menggoda individu dan masyarakat untuk menempatkan kepercayaan dan harapan tertinggi mereka pada kecerdasan dan ciptaan manusia daripada pada Tuhan.
Membedakan pergeseran halus dari alat menjadi berhala ini sangat penting untuk mempertahankan jalan Kristen yang setia.
Potensi Hilangnya Keintiman dan Kedalaman Hubungan Pribadi dengan Tuhan dan Sesama
Ketergantungan yang berlebihan pada teknologi dapat secara signifikan mengurangi kedalaman dan keintiman hubungan pribadi seseorang dengan Tuhan, karena waktu yang seharusnya didedikasikan untuk doa dan kontemplasi seringkali digantikan oleh aktivitas digital yang tidak produktif seperti pengguliran media sosial tanpa henti atau bermain game.1 Demikian pula, persekutuan digital, meskipun menawarkan koneksi, seringkali terasa lebih formal dan kurang pribadi daripada interaksi langsung, sehingga memengaruhi kualitas dan kedalaman hubungan antarumat percaya secara keseluruhan.1
“Konektivitas” konstan yang ditawarkan oleh teknologi digital secara paradoks dapat menyebabkan isolasi yang lebih dalam dan kedangkalan dalam hubungan, baik dengan Tuhan maupun dengan manusia lain. Ini terjadi dengan memprioritaskan kuantitas interaksi digital daripada kualitas keterlibatan yang tulus dan terwujud, berpotensi mengikis kedalaman spiritual dan emosional dari koneksi manusia. Digitalisasi menyediakan akses informasi yang tampaknya tak terbatas dan konektivitas konstan.10
Namun, akses yang meresap ini dapat menyebabkan alokasi waktu yang salah, di mana momen-momen yang dimaksudkan untuk disiplin spiritual (doa, kontemplasi) justru dihabiskan untuk aktivitas digital yang tidak produktif.1 Ini juga berisiko memupuk budaya individualisme, di mana orang percaya lebih suka partisipasi digital yang terisolasi daripada keterlibatan aktif dalam komunitas gereja fisik.1 Kualitas hubungan, baik dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia, dapat sangat menderita. Interaksi menjadi kurang intim dan lebih formal, menyebabkan berkurangnya “kedalaman dan keintiman hubungan orang percaya dengan Tuhan dan satu sama lain”.1
Ilusi koneksi konstan dapat menutupi pemutusan spiritual dan relasional yang lebih dalam. Masalah utamanya bukanlah teknologi itu sendiri, tetapi penggunaannya yang tidak bijaksana dan tidak bijaksana.10 Ini menyoroti kebutuhan kritis akan kesengajaan, pengendalian diri, dan discernment spiritual dalam manajemen waktu dan prioritas kedalaman relasional. Umat Kristen harus secara aktif menjaga diri dari erosi halus keterlibatan yang bermakna yang disebabkan oleh gangguan digital, memastikan bahwa teknologi berfungsi untuk meningkatkan, daripada mengurangi, kesejahteraan spiritual dan relasional mereka.
Distraksi dan Paparan Ideologi yang Bertentangan dengan Ajaran Kristen
Dunia digital memaparkan individu pada berbagai ideologi dan nilai yang seringkali bertentangan dengan ajaran Alkitab, menimbulkan risiko signifikan yang dapat menggoyahkan iman seseorang.1
Konten yang menyesatkan, ajaran palsu, dan bahkan serangan langsung terhadap iman Kristen tersebar luas dan mudah diakses secara daring.1 Lebih jauh lagi, teknologi dapat secara halus memengaruhi pola pikir, berpotensi mengarah pada adopsi gaya hidup dan norma modern yang tidak konsisten dengan prinsip-prinsip Kristen dan standar Alkitabiah.7
Pluralitas informasi di era digital, meskipun menawarkan akses yang tak tertandingi ke kebenaran, secara bersamaan memperkuat paparan terhadap ideologi yang bertentangan, informasi yang salah, dan serangan spiritual. Ini menimbulkan tantangan epistemologis yang signifikan bagi umat Kristen, menuntut kapasitas yang lebih tinggi untuk discernment dan landasan teologis yang kuat untuk menavigasi dan mempertahankan iman di tengah banjir narasi yang kontradiktif.
Dunia digital menawarkan “akses informasi yang tampaknya tak terbatas” 10, tetapi akses ini adalah pedang bermata dua, juga memaparkan pengguna pada “berbagai ideologi dan nilai yang bertentangan dengan ajaran Alkitab”.1
Paparan ini dapat “menggoyahkan iman seseorang” dan membuat individu “mudah terpengaruh oleh ajaran palsu” 1, menyebabkan kebingungan dan disorientasi spiritual. Tantangannya bukan hanya volume informasi, tetapi “pluralitas informasi, krisis otoritas, dan penyederhanaan kebenaran” 9 yang inheren dalam lanskap digital. Menjadi sulit tidak hanya untuk mengakses informasi, tetapi juga untuk membedakan kebenarannya, pandangan dunianya, dan keselarasan dengan kebenaran Kristen.
Ini memerlukan pendekatan proaktif dan disengaja terhadap “teologi digital” 12, yang menekankan “lebih banyak teologi” daripada sekadar “lebih banyak teknologi”.12 Umat Kristen dipanggil untuk mengembangkan landasan teologis yang kuat 1 dan menumbuhkan discernment spiritual 10 untuk secara kritis menyaring konten digital, menolak pengaruh berbahaya, dan mengubah lanskap digital dari sumber kebingungan menjadi ladang untuk mencari kebenaran dan pertumbuhan spiritual.
Implikasi Etis AI dari Sudut Pandang Kristen (Keadilan, Transparansi, Akuntabilitas, Martabat Manusia)
Penggunaan AI memperkenalkan tantangan etis dan moral yang signifikan, termasuk potensi bias algoritma, pelanggaran privasi, dan penyalahgunaan teknologi untuk tujuan berbahaya atau tidak etis.6 Dalam konteks ini, prinsip-prinsip etika sangat penting:
keadilan (memastikan AI tidak memengaruhi kelompok-kelompok yang terpinggirkan secara negatif), transparansi (mengharuskan proses dan keputusan AI dapat dipahami dan diperiksa), dan akuntabilitas (menekankan bahwa pengembang dan pengguna AI harus bertanggung jawab atas dampak teknologi).6
Dari sudut pandang Kristen, “buah Roh” (kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri dari Galatia 5:22-23) dan ajaran Yesus tentang kasih dan keadilan (Matius 22:37-39) harus berfungsi sebagai prinsip dasar yang memandu pengembangan dan penggunaan AI.
Ini memastikan bahwa teknologi menghormati martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan.6 Karena AI semakin “merekayasa perilaku” dan secara mendalam membentuk lingkungan manusia, etika Kristen harus bergerak melampaui kritik reaktif ke keterlibatan proaktif. Ini melibatkan partisipasi aktif dalam pengembangan dan penerapannya untuk memastikan AI selaras dengan nilai-nilai ilahi keadilan, martabat manusia, dan kasih tanpa pamrih, sehingga mencegah teknologi menjadi kekuatan yang menindas, tidak manusiawi, atau diskriminatif dalam masyarakat.
AI tidak hanya alat pasif; ia digambarkan sebagai “infrastruktur imanen” yang secara aktif “mengkonfigurasi lingkungan manusia, memodulasi perilaku, dan secara halus mendefinisikan ulang identitas itu sendiri”.2 Ia memiliki kapasitas untuk “tata kelola algoritmik tubuh”.2 Kekuatan mendalam ini datang dengan risiko etis yang signifikan, termasuk potensi bias algoritmik, pelanggaran privasi yang meluas, dan penyalahgunaan yang disengaja untuk pengawasan atau manipulasi.6
Umat Kristen dipanggil untuk mengasihi Tuhan dan sesama 6 dan untuk menjunjung tinggi martabat inheren setiap manusia sebagai ciptaan menurut gambar Tuhan.6
Oleh karena itu, keterlibatan Kristen dengan AI tidak bisa pasif atau hanya observasional. Ini membutuhkan partisipasi aktif dalam membentuk pedoman etika, mengadvokasi prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas, dan memastikan bahwa pengembangan dan penerapan AI secara konsisten menjunjung tinggi martabat manusia dan melayani kebaikan bersama, daripada memperburuk ketidaksetaraan, merusak kesejahteraan manusia, atau mempromosikan agenda berbahaya. Ini memperluas tanggung jawab Kristen di luar penggunaan individu ke imperatif kolektif dan sosial yang berakar pada nilai-nilai Alkitabiah, berusaha menebus teknologi untuk tujuan Tuhan.
C. Pendekatan “Lebih Banyak Teologi”: Membangun Hubungan yang Sehat dengan Teknologi
Pentingnya Hikmat dan Ketajaman Rohani dalam Penggunaan Teknologi
Umat Kristen didesak untuk menggunakan teknologi digital dengan discernment dan berpikir bijaksana, memastikan bahwa Tuhan dihormati dalam penggunaannya.10
Artikel “Digital Theology” menyatakan bahwa teologi digital yang sehat adalah jawaban utama untuk tantangan yang ditimbulkan oleh teknologi digital, menekankan bahwa “kebenaran tertua adalah sanggahan terbaik untuk tantangan terbaru”.12
Prioritas pada Hubungan dengan Tuhan (Trinitas sebagai Model) dan Sesama
Solusi utama untuk menavigasi kompleksitas revolusi digital ditemukan dalam “lebih banyak teologi,” daripada hanya mengadopsi pendekatan “tanpa teknologi” atau “lebih banyak teknologi”.12 Hubungan yang sempurna dalam Tritunggal (Bapa, Anak, Roh Kudus)—yang dicirikan oleh kasih, kepercayaan, keterbukaan, dan komunikasi—berfungsi sebagai model ideal untuk hubungan manusia, terutama dalam konteks keterlibatan dengan teknologi.12
Prinsipnya adalah bahwa “hubungan yang lebih dalam lebih efektif daripada aturan yang lebih rinci”.12 Persekutuan yang mendalam dengan Tritunggal secara inheren dapat mengatur hubungan seseorang dengan teknologi, mengarah pada interaksi yang lebih seimbang dan bermanfaat.12
Pendekatan “lebih banyak teologi,” yang berpusat pada model hubungan Tritunggal yang sempurna, menawarkan pergeseran paradigma yang mendalam dari interaksi berbasis aturan atau berbasis ketakutan dengan teknologi ke interaksi yang didorong oleh hubungan. Ini menyiratkan bahwa kedalaman spiritual dan keintiman dengan Tuhan secara inheren menumbuhkan hikmat dan discernment yang diperlukan untuk keterlibatan teknologi yang bijaksana dan etis, mengubah disposisi internal daripada mengandalkan kontrol eksternal. Hanya menghindari teknologi (“tanpa teknologi”) tidak praktis dan seringkali tidak mungkin di dunia digital yang meresap saat ini.
Mengandalkan hanya kontrol eksternal atau lebih banyak teknologi (“lebih banyak teknologi”) tidak cukup, dapat dihindari, dan bahkan dapat merusak hubungan yang sehat.12 David Murray dalam “Digital Theology” menganjurkan “lebih banyak teologi” sebagai solusi utama, mendalam, abadi, dan spiritual.12
Hubungan yang sempurna, penuh kasih, penuh kepercayaan, dan terbuka dalam Keilahian (Tritunggal) disajikan sebagai model dasar untuk semua hubungan manusia, termasuk yang dipengaruhi oleh teknologi.12
Jika hubungan seseorang dengan Tuhan mendalam dan sehat, dan jika hubungan manusia (misalnya, dengan anak-anak) dicirikan oleh kepercayaan dan keterbukaan, maka hubungan yang sehat ini secara alami mengatur interaksi dengan teknologi. Prinsip “hubungan yang lebih dalam lebih efektif daripada aturan yang lebih rinci” 12 berarti bahwa pembentukan spiritual internal lebih kuat daripada peraturan eksternal. Ini menunjukkan bahwa solusi paling efektif untuk menavigasi tantangan era digital bukanlah terutama tentang memaksakan aturan atau larangan eksternal yang ketat pada penggunaan teknologi, tetapi tentang menumbuhkan hubungan yang dinamis dan intim dengan Tuhan. Koneksi spiritual yang kuat, yang dimodelkan setelah persekutuan Tritunggal, menumbuhkan hikmat, discernment, dan pengendalian diri yang diperlukan untuk menggunakan teknologi demi kebaikan, daripada dikonsumsi oleh potensi jebakannya.
Ini menggeser fokus dari sekadar mengelola teknologi menjadi menumbuhkan kedewasaan spiritual yang kemudian secara inheren menginformasikan dan memandu pilihan teknologi.
Penguasaan Teknologi, Bukan Sebaliknya
Prinsip fundamental bagi umat Kristen adalah menguasai teknologi, memastikan teknologi tetap menjadi alat di bawah kendali manusia, daripada membiarkannya menguasai atau mendikte perilaku manusia.7 Teknologi harus selalu digunakan dengan hikmat, discernment, dan pada akhirnya untuk kemuliaan Tuhan dan manfaat nyata bagi sesama.8
Perspektif ini mengingatkan orang percaya akan pentingnya kesengajaan: ada saatnya untuk meletakkan ponsel pintar dan secara aktif terlibat dalam melayani kerajaan Tuhan, mengasihi sesama, dan memberitakan Injil kepada yang terhilang melalui interaksi langsung dan pribadi.10
Kesimpulan: Iman yang Bijaksana di Tengah Kemajuan Digital
Pertanyaan “Apakah Tuhan Gaptek?” mengundang kita pada refleksi teologis yang mendalam tentang hakikat ilahi dan hubungan-Nya dengan ciptaan. Analisis ini menegaskan bahwa Tuhan adalah Pencipta utama, Insinyur tertinggi, dan Sumber pengetahuan yang tak terbatas, termasuk prinsip-prinsip fundamental yang memungkinkan semua teknologi. Oleh karena itu, gagasan tentang Tuhan yang “gaptek” adalah kesalahpahaman teologis yang mendalam dan tidak berdasar.
Dorongan bawaan manusia untuk menciptakan dan berinovasi secara teknologi adalah cerminan dari penciptaan manusia menurut gambar Tuhan. Namun, dorongan ini membawa risiko spiritual untuk diselewengkan menjadi penyembahan berhala jika tidak terus-menerus tunduk pada otoritas dan tujuan kedaulatan Tuhan. Era digital menyajikan peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya dan menarik untuk kemajuan Kerajaan Allah dan pelayanan, di samping tantangan spiritual, etika, dan relasional yang signifikan yang menuntut navigasi Kristen yang cermat.
Sebagai kesimpulan, Tuhan, sebagai Pencipta yang Mahatahu dan Mahakuasa, secara tak terbatas melampaui batasan atau kemajuan teknologi manusia. Pengetahuan dan kuasa ilahi-Nya tidak hanya menyadari teknologi tetapi merupakan fondasi dan sumber dari mana semua teknologi dibangun dan beroperasi.
Oleh karena itu, umat Kristen diajak untuk menggunakan teknologi secara bijaksana demi kemuliaan Tuhan dan kebaikan sesama. Ini melibatkan penekanan pada pendekatan “lebih banyak teologi” sebagai prinsip panduan.
Pendekatan ini memprioritaskan hubungan yang mendalam dan otentik dengan Tuhan dan dengan sesama manusia sebagai kerangka kerja penting untuk penggunaan teknologi yang bijaksana dan etis.
Umat Kristen didorong untuk menjadi sengaja, discernment, dan proaktif dalam memanfaatkan teknologi untuk Amanat Agung, untuk membangun dan memelihara komunitas yang tulus, dan untuk menumbuhkan pertumbuhan spiritual pribadi. Pada saat yang sama, umat Kristen harus waspada terhadap potensi jebakan teknologi, memastikan bahwa teknologi secara konsisten melayani kemuliaan Tuhan dan berkontribusi pada kesejahteraan manusia, daripada menjadi sumber gangguan, penyembahan berhala, atau dehumanisasi.
Karya yang dikutip
- TINJAUAN TEOLOGIS: DIGITALISASI DAN … – tentang jurnal, diakses Juni 15, 2025, https://humanisa.my.id/index.php/hms/article/download/287/342
- From God to AI – PhilArchive, diakses Juni 15, 2025, https://philarchive.org/archive/ISSFGT
- Anthropomorphizing Technology: A Conceptual Review of …, diakses Juni 15, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9334403/
- Redeeming Technology: How Technology Fits into God’s Story, diakses Juni 15, 2025, https://www.logos.com/grow/technology-gods-story/
- Chapter 9 – God and the Engineers – LeTourneau University, diakses Juni 15, 2025, https://www.letu.edu/alumni/leiffer-engineering-lensoffaith-ch9.html
- Etika dan dilema spiritualitas di era artificial inteligent … – Index of /, diakses Juni 15, 2025, https://www.sttpb.ac.id/e-journal/index.php/kurios/article/download/1158/407
- Ini Jawaban dari Jelaskan Apa yang Dikatakan Alkitab tentang …, diakses Juni 15, 2025, https://kumparan.com/kabar-harian/ini-jawaban-dari-jelaskan-apa-yang-dikatakan-alkitab-tentang-teknologi-23TIARYKjuU
- TEKNOLOGI UNTUK KEMULIAAN TUHAN – ROCK Ministry, diakses Juni 15, 2025, https://rockministry.org/teknologi-untuk-kemuliaan-tuhan/
- Filsafat Ilmu Teologi dalam Era Digital – Asosiasi Riset Ilmu …, diakses Juni 15, 2025, https://journal.aripafi.or.id/index.php/jbpakk/article/download/983/1385/5411
- Tech Savvy (The Christian & The Digital Age) – Know The Truth, diakses Juni 15, 2025, https://ktt.org/sermons/series/tech-savvy
- 5 Cara Memanfaatkan Teknologi – Artikel Gereja GKDI – gkdi.org, diakses Juni 15, 2025, https://gkdi.org/blog/5-cara-menggunakan-teknologi-untuk-memuliakan-tuhan/
Digital Theology by David Murray – Ways to Learn at Ligonier.org, diakses Juni 15, 2025, https://learn.ligonier.org/articles/digital-theology