
Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si. – Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI)
Wartagereja.co.id – Jakarta – Arus deras digitalisasi telah mengubah fundamental cara informasi diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi oleh masyarakat. Perubahan ini tidak hanya berdampak pada media arus utama, tetapi juga pada komunikasi dalam berbagai komunitas, termasuk gereja. Jurnalisme gereja, sebagai salah satu sarana pewartaan atau marturia, kini dihadapkan pada tantangan dan peluang yang belum pernah ada sebelumnya, menuntut adaptasi dengan prinsip-prinsip jurnalisme digital yang telah banyak dikaji oleh para ahli.
Para pemikir ilmu jurnalistik di era digital, seperti Jeff Jarvis, Bill Kovach & Tom Rosenstiel, hingga Adrienne Russell, telah memberikan wawasan krusial mengenai bagaimana teknologi mengubah lanskap media. Pemikiran mereka memberikan kerangka bagi jurnalisme gereja untuk memahami dinamika baru ini dan mengoptimalkan perannya dalam menyampaikan pesan kebenaran dan kasih di tengah banjir informasi.
Networked Journalism dan Pelibatan Jemaat
Jeff Jarvis memperkenalkan konsep “networked journalism” sebagai pengganti “citizen journalism”. Konsep ini menekankan kolaborasi yang terjalin antara jurnalis profesional dengan masyarakat. Adrienne Russell memperluas gagasan ini dalam konteks kolaborasi antara jurnalis dan aktivis gerakan sosial.
Dalam konteks jurnalisme gereja, “networked journalism” berarti gereja tidak lagi bisa mengandalkan komunikasi satu arah dari atas ke bawah. Pewarta gereja perlu membangun jejaring dan berkolaborasi aktif dengan anggota jemaat. Jemaat bukanlah sekadar audiens pasif, melainkan potensi sumber berita, kontributor cerita tentang kehidupan iman mereka, atau bahkan “mata dan telinga” yang bisa memberikan informasi dari komunitas lokal.
Melibatkan jemaat dalam proses produksi konten dapat memperkaya perspektif dan meningkatkan relevansi pesan gereja. Kolaborasi dengan lembaga pelayanan atau kelompok aktivis Kristen juga dapat memperluas jangkauan marturia dalam isu-isu sosial atau kemanusiaan.
Tanggung Jawab Warga dalam Berita: Peran Jemaat sebagai Agen Marturia Kredibel
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menambahkan prinsip penting dalam jurnalistik, yaitu hak dan tanggung jawab warga negara dalam hal berita. Prinsip ini sangat relevan bagi jemaat di era digital. Anggota jemaat memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang akurat, transparan, dan dapat dipercaya dari gereja dan tentang imannya.
Namun, lebih dari itu, mereka juga memiliki tanggung jawab yang besar. Di tengah derasnya informasi, bahkan disinformasi, jemaat bertanggung jawab untuk kritis terhadap berita, memverifikasi kebenarannya (terutama yang berkaitan dengan ajaran atau isu gerejawi), dan berperan aktif dalam menyebarkan informasi yang benar. Dalam kerangka marturia, setiap jemaat dipanggil untuk menjadi saksi Kristus. Di era digital, ini termasuk menjadi agen yang menyebarkan pesan kebenaran dan kasih Kristus secara kredibel melalui platform digital, sekaligus turut serta menangkal hoaks atau fitnah yang menyerang gereja atau iman Kristen.
Adaptasi dan Menghadapi Misinformasi
Para ahli lain juga menyoroti bagaimana jurnalisme digital mendorong perubahan dalam cara jurnalis bekerja, termasuk dalam hal keterampilan teknis, relasi kekuasaan, dan kolaborasi dengan publik. Bagi pewarta gereja, ini berarti keharusan untuk terus beradaptasi dan meningkatkan kompetensi digital. Menguasai berbagai platform (media sosial, website, podcast, video), memahami cara kerja algoritma, dan mampu menyajikan konten dalam berbagai format multimedia adalah keterampilan dasar yang tak terhindarkan.
Tantangan terbesar di era digital adalah maraknya misinformasi dan disinformasi. Pewarta gereja harus dilengkapi dengan kemampuan literasi digital dan cek fakta untuk mengidentifikasi dan melawan hoaks yang bisa merusak reputasi gereja atau menyesatkan jemaat. Lebih dari sekadar melawan hoaks, jurnalisme gereja harus menjadi sumber informasi yang terpercaya dan otoritatif bagi jemaatnya, membangun kepercayaan melalui akurasi dan integritas dalam setiap pemberitaan.
Dengan memahami dan menerapkan prinsip-prinsip dari para pakar jurnalisme digital ini – mulai dari pentingnya kolaborasi (networked journalism), pelibatan jemaat sebagai pemegang hak dan tanggung jawab, hingga adaptasi terhadap teknologi dan perlawanan terhadap misinformasi – jurnalisme gereja dapat bertransformasi menjadi sarana marturia yang lebih efektif dan relevan. Di tengah hiruk-pikuk informasi digital, gereja memiliki kesempatan unik untuk menghadirkan narasi kebenaran, harapan, dan kasih Kristus, serta menunjukkan tanda-tanda Kerajaan Allah melalui praktik komunikasi yang cerdas, etis, dan kolaboratif.
Referensi
Artikel ini disusun berdasarkan sintesis konsep-konsep utama dalam ilmu jurnalistik digital yang banyak dikaji oleh para ahli di bidangnya. Sumber-sumber konsep yang menjadi acuan dalam artikel ini meliputi pemikiran dari:
- Jarvis, Jeff: Konsep “Networked Journalism” yang menekankan kolaborasi antara jurnalis dan publik dalam ekosistem media digital.
- Kovach, Bill dan Rosenstiel, Tom: Penambahan prinsip tanggung jawab warga negara dalam hal berita sebagai bagian integral dari fungsi pers.
- Russell, Adrienne: Kajian mengenai “Networked Journalism” dalam konteks kolaborasi antara jurnalis profesional dan aktivis gerakan sosial.
- Para Ahli Lain dalam Jurnalisme Digital: Berbagai literatur dan diskusi akademik yang membahas perubahan praktik jurnalistik di era digital, adaptasi jurnalis terhadap teknologi baru, serta tantangan seperti misinformasi dan disinformasi.
Konsep-konsep ini dieksplorasi secara mendalam dalam berbagai publikasi, buku, jurnal ilmiah, dan diskusi di komunitas akademis serta praktisi jurnalisme digital.