
Oleh : Pdt. Dr. Djoys Anneke Rantung, S.Th., M.Th., D.Th.
Wartagereja.co.id – Jakarta, Awal tahun 2010 kita dihentakkejutkan oleh peristiwa kekerasan terhadap anak secara beruntun. Di Depok Jawa Barat seorang guru ngaji menyiksa 3 santrinya dengan air keras. Di Jakarta Utara seorang homoseks dan paedofil telah memutilasi 3 anak. Di Tangerang seorang Ibu membekap bayinya yang berusia 9 bulan hingga tewas. Terakhir, KPAI menerima laporan kekerasan yang dilakukan oleh seorang guru Sekolah Dasar di Jakarta Selatan, terhadap seorang siswanya sehingga korban merasa trauma dan tidak mau masuk sekolah. Sebelumnya diberitakan seorang bayi di Semarang hilang diculik dari Rumah Sakit daerah, demikian juga seorang bayi lainnya diculik dari Puskesmas Kembangan, Jakarta Barat (Harian Kedaulatan Rakyat: 2009).
Kekerasan terhadap anak merupakan isu krusial yang berdampak pada tumbuh kembang anak secara fisik, psikologis, dan sosial. Kekerasan terhadap anak rupanya tidak pernah berhenti dan sulit dihentikan. Fenomena ini bukan hanya milik Indonesia, tetapi juga terjadi di seluruh Negara di dunia. Pada bulan oktober 2006, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menerbitkan hasil Studi tentang Kekerasan terhadap Anak, yang mengungkapkan skala berbagai bentuk kekerasan yang dialami anak di seluruh dunia terus meningkat, sehingga PBB menyerukan penguatan komitmen dan aksi di tingkat nasional dan lokal oleh semua Kepala Negara.
Di Indonesia sendiri telah berdiri suatu lembaga perlindungan anak yakni Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Ketuanya, Seto Mulyadi menyatakan sebagian besar kekerasan terhadap anak dilakukan ibu kandungnya sendiri. Dimana, Seorang ibu masih memiliki paradigma lama seolah-olah mendidik anak dengan kekerasan itu wajar dan sah-sah saja, bahkan harus. Katanya saat Pencanangan Gerakan Nasional Perlindungan Anak di Sekolah Gratis Yayasan Bina Insan Mandiri di Terminal Depok. Berdasarkan data Komnas PA, tahun 2008 kekerasan fisik terhadap anak yang dilakukan ibu kandung mencapai 9,27 persen atau sebanyak 19 kasus dari 205 kasus yang ada. Sedangkan kekerasan yang dilakukan ayah kandung 5,85 persen atau sebanyak 12 kasus. Ibu tiri (2 kasus atau 0,98 persen), ayah tiri 2 kasus atau 0,98 persen). Dalam sehari Komnas PA menerima 20 laporan kasus, termasuk kasus anak yang belum terungkap.Komnas PA kuat karena dukungan masyarakat dan media massa. Kak Seto panggilan Seto Mulyadi mencontohkan pepatah yang mengatakan di ujung rotan ada emas yang mengingatkan masa depan anak akan baik, jika dipukul dengan rotan. Ini merupakan paradigma keliru yang harus diluruskan bersama. Kekerasan terhadap anak banyak dilakukan masyarakat menengah ke bawah karena terkait dengan kemiskinan. Tapi bukan berarti kasus tersebut tidak terjadi pada kalangan menengah atas, bahkan ada guru besar dan CEO perusahaan ternama yang melakukan kekerasan terhadap putra-putrinya.
Statistik Kekerasan terhadap Anak di Indonesia Tahun 2024
Jenis kekerasan yang dialami mencakup kekerasan fisik, psikis, seksual, eksploitasi, perdagangan orang (trafficking), dan penelantaran (NU Online). Jenis kekerasan paling umum, kekerasan emosional yang menjadi kekerasan paling tinggi (Antara News).
- Total Kasus Terlapor
- 28.831 kasus kekerasan terhadap anak dilaporkan sepanjang tahun 2024 melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA)
- Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin Korban (NU Online)
- Anak Perempuan: 24.999 kasus
- Anak laki-laki: 6.228
- Prevalensi Kekerasan Berdasarkan Survei Nasional
Menurut Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR), 2024:
- 50,78% anak usia 13-17 tahun (sekitar 11,5 juta anak) pernah mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan sepanjang hidupnya.
- 7,6 juta anak mengalami kekerasan dalam satu tahun terakhir (Detiknews:BPS Indonesia)
- Tren Kenaikan Dibanding Tahun 2021(Antara News)
Dibandingkan dengan data tahun 2021, terdapat peningkatan signifikan dalam prevalensi kekerasan terhadap anak:
- Kekerasan fisik:
Anak laki-laki: dari 13, 91% (2021) menjadi 21,22% (2024)
Anak perempuan: dari 3,65% (2021) menjadi 8,82% (2024)
- Kekerasan seksual:
Anak laki-laki:dari3,65% (2021) menjadi 15,56% (2024)
Anak perempuan: dari 8,43% (2021) menjadi 8,82% (2024)
- Kekerasan emosional:
Anak laki-laki: dari 32,06% (2021) menjadi 43,17% (2024)
Anak perempuan: dari 42,61% (2021) menjadi 77,82% (2024)
Cenderung meningkat
Di Indonesia sendiri, angka-angka kekerasan terhadap anak tidak pernah menunjukkan angka menurun, kecenderungannya selalu meningkat, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas. Angka pastinya sulit diperoleh karena banyak kasus kekerasan yang tidak dilaporkan, terutama apabila kekerasan tersebut terjadi di rumah tangga. Banyak masyarakat menganggap, kekerasan di rumah tangga adalah urusan domestik, sehingga tidak selayaknya orang luar, aparat hukum sekali pun ikut campur tangan.

Mengapa tingkat kekerasan terhadap anak di Indonesia begitu marak?
Pertama, Ada kultur kekerasan yang sangat kuat di sebagian masyarakat kita. Anak dilihatnya sebagai miilik mutlak yang harus takluk untuk menggayuh keinginan orang dewasa. Anak menjadi target dalam rangka memenuhi ambisi orang dewasa, dan ketika ia tidak bisa memenuhi anak akan diperlakukan dengan kekerasan. Perlakuan kekerasan terhadap anak ini tidak hanya di rumah, atau komunitas tertentu saja, bahkan di sekolah pun, di mana anak mestinya memperoleh jaminan rasa aman, yang terjadi juga praktek kekerasan. Masih banyak guru menganggap, bahwa kekerasan adalah bagian dari proses pendidikan. Banyak guru lupa, bahkan mungkin tidak tahu, bahwa dasar pendidikan adalah cinta. Jangan mendidik, jangan mengajar, bila gelora hatinya bukan gelora cinta, sebaliknya gelora dendam dan kebencian.
Kedua, modernisasi yang tidak terkendali akan selalu melahirkan kemiskinan kota dengan segala karakternya; meningkatnya angka kriminalitas, prostitusi, dan tekanan hidup. Keempatnya saling berangkai dan saling menjadi sebab dan akibat. Muaranya satu, kekerasan terhadap anak dalam berbagai bentuk seperti; penelantaran, pemekerjaan, perdagangan anak, pelacuran anak, hingga kekeerasan fisik yang menyebabkan penderitaan dan kematian anak.
Ketiga, karakter psikis seseorang. Karakter psikologis akan terekspresikan bila ada media yang mempertemukan dengan kondisi sosial. Untuk kasus Ibu yang membunuh anak di kota-kota besar pada umumnya karena tidak kuatnya menghadapi tekanan hidup. Ekspresi tekanan hidup yang tak tertanggungkan akan selalu dilampiakan kepada orang-orang terdekatnya. Fromm (1970) mengutip hasil studi Sigmund Freud bahwa sesungguhnya dalam diri manusia ada dua kekuatan yang saling bersaing untuk keluar, yaitu keinginan untuk mencintai dan keingininan untuk membunuh. Seseorang yang memiliki karakter psikis dominan keinginan membunuh akan segera terekspresikan ketika ada lingkungan sosial ekonomi yang tidak bisa dihadapi, menekan dirinya, dan jadilah orang-orang di sekitarnya sebagai pelampiasan.
Bentuk dan Faktor Penyebab Kekerasan terhadap Anak
Bentuk kekerasan terhadap anak meliputi:
1. Kekerasan fisik: pemukulan, penganiayaan.
2. Kekerasan psikis: penghinaan, ancaman, intimidasi.
3. kekerasan seksual: pelecehan dan eksploitasi seksual.
4. Penelantaran: kurangnya pemenuhan kebutuhan dasar anak.
Faktor penyebabnya, antara lain:
1. Pola asuh otoriter atau permisif yang ekstrem.
2. Stres orang tua akibat faktor ekonomi dan konflik rumah tangga.
3. Kurangnya pemahaman tentang hak-hak anak.
4. Budaya patriarki dan pembiaran masyarakat terhadap kekerasan.
Mengutip Sumiadji As’yari (2019), “hasil pengaduan yang diterima KOMNAS perlindungan anak yang terjadi diantaranya, adalah 1) kekerasan dalam rumah tangga dan anak yang menjadi sasaran; 2) disfungsi keluarga yaitu peran orang tua tidak sejalan sebagaimana seharusnya; 3) faktor ekonomi yaitu timbul karena tekanan ekonomi; 4) pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga, dengan anggapan bahwa anak tidak tahu apa-apa.”
Di samping itu, faktor penyebab kekerasan pada anak terinspirasi dari tayangan-tayangan televisi media lainnya yang tersebar di lingkungan masyarakat. Yang sangat mengejutkan ternyata 62% tayangan televisi maupun media lainnya telah membangun dan menciptakan perilaku kekerasan (Tempo, 2006).
Penyebab lainnya munculnya kekerasan pada anak (Sihotang: 2004), yakni :
1) Stress berasal dari anak, yaitu kondisi anak yang berbeda, mental yang berbeda atau anak angkat.
2) Stres keluarga, yaitu kemiskinan pengangguran mobilitas, isolasi, perumahan yang tidak memadai, anak yang tidak diharapkan, dlsb.
3) Stres berasal dari orang tua rendah diri waktu kecil mendapat perlakuan salah, depresi, harapan pada anak yang tidak realistis, kelainan karakter/gangguan jiwa.
UNICEF (1986) mengemukakan ada dua faktor yang melatarbelakangi munculnya kekerasan anak oleh orangtuanya:
1) Orang tua pernah menjadi korban penganiayaan anak dan terpapar oleh kekerasan dalam rumah, orang tua yang kondisi kehidupannya dengan stress, seperti rumah yang sesak, kemiskinan, orang yang menyalahgunakan NAPZA, orang tua yang mengalami gangguan kejiwaan sepetti depresi atau psikotik atau gangguan kepribadian.
2) Anak yang premature, anak yang retardasi mental, anak yang cacat fisik, anak yang suka menangis hebat atau banyak tuntutan. Berdasarkan uraian tersebut, baik orang tua maupun anak sama berpotensi pada timbulnya kekerasan pada anak.
Strategi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Anak
Tindakan untuk mencegah dan mengatasi kekerasan terhadap anak harus dilakukan secara menyeluruh, melibatkan keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan, dan negara.
Upaya Pencegahan:
1. Pendidikan dan Pembinaan Orang Tua
- Memberikan pelatihan parenting yang sehat dan non-kekerasan
- Membangun kesadaran bahwa anak bukan milik pribadi, tapi titipan Tuhan yang harus dihormati haknya.
- Mendorong pola asuh positif (positive parenting) yang penuh kasih, disiplin tanpa kekerasan dan komunikasi yang terbuka.
2. Pendidikan terhadap Anak tentang Hak dan Perlindungan Diri
- Anak-anak diajarkan mengenali bentuk kekerasan (fisik, verbal, seksual, dll).
- Mengajarkan anak mengatakan “tidak” dan melapor jika merasa tidak aman.
- Edukasi melalui kurikulum dan kampanye public.
3. Penguatan Sistem Pelaporan Kekerasan
- Membangun sistem pelaporan yang ramah anak (contoh: SIMFONI-PPA)
- Menyediakan saluran pengaduan rahasia dan cepat (telepon, aplikasi, posko).
4. Peran Komunitas dan Lembaga Keagamaan
- Gereja, sekolah minggu dan lembaga keagamaan lainnya, serta kelompok komunitas dapat menjadi tempat perlindungan dan edukasi.
- Pemuka agama memberi edukasi moral dan spiritual yang mendorong penghormatan terhadap martabat anak.
5. Pengawasan Media dan Teknologi
- Orang tua perlu mengawasi konsumsi media anak.
- Batasi akses ke konten kekerasan dan pornografi yang dapat menstimulusi perilaku menyimpang.
Tindakan Mengatasi Kekerasan terhadap Anak:
1. Pelaporan dan Penangan Hukum
- Segera laporkan ke pihak berwajib: polisi, Dinas PPA, atau KPAI
- Gunakan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak sebagai dasar hukum.
- Pelaku kekerasan harus diproses hukum agar ada efek jera dan keadilan bagi korban.
2. Pendampingan Psikologis dan Medis
- Psikologis: trauma healing, konseling.
- Medis: pengobatan atas luka atau penyakit akibat kekerasan.
3. Rehabilitasi Sosial dan Reintegrasi
- Lembaga sosial harus mendampingi anak untuk Kembali ke lingkungan sehat.
- Rehabilitasi keluarga juga penting agar kekerasan tidak terulang.
4. Pendidikan Ulang bagi Pelaku
- Selain hukuman, pelaku (terutama orang tua/keluarga) perlu ikut program edukasi tentang kekerasan dan pengendalian emosi.
5. Kebijakan Pemerintah dan Lembaga
- Negara wajib menjamin ketersediaan shelter (rumah aman), layanan konseling, dan program pemulihan.
- Pemerintah daerah juga harus aktif lewat program “Kota/Kabupaten Layak Anak.”
Penutup: Prinsip Perlindungan Anak
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan, dan partisipasi dalam masyarakat” (Konvesi Hak Anak PBB dan UU Perlindungan Anak Indonesia). Anak bukanlah obyek pelampiasan emosional, fisik, seksual atau komoditi ekonomi yang menguntungkan bagi pihak yang tidak bertanggung jawab. Anak perlu dikasihi, dilindungi, dan mendapatkan hak-hak yang layak sebagai manusia yang utuh dan berharga. Dia tidak bersalah untuk dilahirkan, sehingga perlu mendapatkan pengakuan atas hak hidupnya menjadi pribadi yang berarti, diperlakukan dengan adil dan sejahtera, serta memiilki hak-hak untuk hidup dan masa depan yang baik.
Mencegah dan mengatasi kekerasan terhadap anak bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga tanggung jawab kolektif sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi martabat manusia. Peran semua pihak terhadap tumbuh kembang anak dan pola asuh keluarga serta perlindungan, baik dari keluarga, gereja atau lembaga keagamaan serta negara untuk perlindungan terhadap anak-anak agar mereka merasakan indahnya menjadi anak-anak dan harmoninya hidup serta jaminan masa depan yang cemerlang.
Daftar Pustaka
Baumrind, D. (1991). Effectif parenting during the early adolescent transition. In P. A. Cowan & M. Hetherington (Eds.), Family transitions (111-163)
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2024). Data SIMFONI-PPA Tahun 2024. Jakarta: KemenPPPA.
Lansford, J. E., et.al. (2011). Parenting and child development in non-Western cultures. In Child Development Perspectives, 5(3), 202-208)
Undang-Undang Republik Indonesia No. 35, tentang Perlindungan Anak.
UNICEF Indonesia, (2024), Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR). Jakarta: UNICEF & BPS.
UNICEF & Save the Children: Guidelines for the Clinical Managament of Child Abuse Cases.