
Catatan Reflektif Pdt. K.R.T. Sugeng Prihadi dalam Emeritasi Pdt. A.S. Wiratmo
Ada kehidupan yang diteriakkan ke dunia.
Tapi ada juga kehidupan yang dibisikkan ke surga,
ditulis perlahan dengan pena kasih
dan tinta air mata.
Suatu sore di bulan April, ketika matahari tergelincir pelan di langit Klaten, bayangan masa lalu terbentang memanjang di halaman rumah tua peninggalan orang tua, ia kembali memijakkan kaki ke tanah asal. Bukan sebagai anak kecil yang pernah bermain di serambi, tetapi sebagai jiwa dewasa yang sedang menoleh ke belakang, mencari jejak doa yang pernah terucap dalam diam.
Rumah ini tidak dibangun dari batu bata semata, tapi dari kenangan yang menetap dan harapan yang tak pernah lelah menggema dalam detak dindingnya. Langkahnya berhenti di depan pintu kamar masa kecilnya, di mana waktu seperti terlipat dan suara masa lalu berbisik dari debu yang menempel di kayu tua. Di sanalah matanya tertumbuk pada sebuah stiker lusuh. Tulisan tangan seorang anak muda yang belum tahu ke mana angin hidup akan membawanya:
“Galilah Iman, Timbalah Ilmu.”
Kalimat itu, yang ia tempel semasa menjadi mahasiswa teknik di Bandung, kini berbicara kepadanya bukan sebagai hiasan masa silam, melainkan nubuat yang perlahan menjadi daging. Suara lembut yang setia memanggil, menuntun langkahnya dalam diam: dari logika ke kasih, dari ilmu ke iman, dari dirinya ke Engkau.
Ia lahir dari cinta dua dunia, ayahnya, anak pembantu keluarga Belanda, dididik dalam Injil dan kesederhanaan desa, ibunya, perempuan pasar yang datang dari pelukan Islam dan kekuatan janda-janda yang tak pernah tunduk pada getir hidup. Dari mereka, ia belajar bahwa kasih tidak bertanya asal-muasal, ia hanya ingin tahu: maukah kau tinggal, dan mencintai?
Sebagai anak bungsu yang senang diam, yang lebih gemar mengamati hidup dari balik jendela ketimbang memanggil perhatian, hidup perlahan menuntunnya ke tempat-tempat yang tidak pernah ia impikan. Ketika teman sakit, ia berdoa. Ketika anak tetangga kerasukan dan semua “orang pintar” menyerah, ia hanya menggenggam tangannya, dengan Al-Qur’an sebagai bantal dan tasbih di genggamannya, sebab ia percaya: Tuhan hadir bukan di tengah ritual megah, tetapi dalam kasih yang tulus.
Dan dalam setiap momen kecil itu, ketika ia merasa tidak tahu apa-apa, justru di sanalah ia belajar: Tuhan tidak memilih mereka yang paling siap, tapi mereka yang bersedia.
Perjalanan membawanya dari sumur minyak ke ruang kelas teologi, dari malam-malam merawat ibu yang lumpuh ke buku-buku tentang pengampunan, dari percakapan sunyi dengan diri sendiri menuju panggilan yang tak bisa ia tolak. Ia tidak mengejar mimbar, ia dipanggil berjalan pelan bersama yang terluka.
Dan semakin ia menimba iman dan menggali ilmu, semakin ia menyadari: yang dijalani bukanlah pencapaian pribadi, tapi aliran kasih Tuhan yang menyusup lewat hidup-hidup yang ia jamah.
Namun, apakah itu cukup? Apakah semua langkah ini akan bermakna, jika hatinya masih ingin sorak dan pujian?
Di dunia yang ramai dengan suara dan citra, di mana keberhasilan diukur lewat pengikut dan pangkat, kerendahan hati adalah revolusi sunyi yang paling radikal. Rasul Paulus, dari balik penjara, mengirimkan undangan yang lebih mengguncang daripada riuh zaman ini: “Jangan mencari puji-pujian yang sia-sia, anggaplah yang lain lebih utama dari dirimu sendiri.”
Kerendahan hati bukanlah menghilangkan diri, melainkan membuka ruang agar kasih dapat tumbuh. Ia bukan kelemahan, tapi kekuatan terdalam. Dan teladan tertinggi adalah Kristus sendiri. Tuhan yang turun dari takhta, membasuh kaki murid-murid, dan memilih salib, bukan mahkota.
Jika Dia saja menunduk, mungkinkah kita, yang hanya tanah dan nafas berani mendongakkan kepala lebih tinggi dari semestinya?
Kini, ketika panggung dan jabatan perlahan ditanggalkan satu per satu, ia justru melihat dengan lebih jernih: bahwa hidup bukan tentang meninggi, melainkan menunduk. Dalam tunduk ada damai. Dalam memberi ruang, ada kekuatan. Dalam menjadi kecil, kasih menjadi besar.
Ia tidak ingin dikenang karena prestasi. Jika boleh memilih, biarlah dirinya dikenang sebagai tangan yang pernah menggenggam jemaat yang berduka, sebagai hati yang hadir dalam kesunyian, sebagai pelayan yang berjalan pelan, agar yang lain dapat sampai lebih dulu.
Dan kini ia tahu, kalimat lusuh di pintu kamarnya bukan sekadar slogan. Tulisan itu adalah naskah hidup yang ditulis Tuhan sendiri, dengan tinta air mata dan pena kasih yang tak ingin diakui, hanya ingin dikenang oleh langit.
Karena dalam kerendahan, ia menemukan kedalaman.
Dan dalam melayani, ia menemukan sukacita yang tak pernah habis
seperti mata air yang tak terlihat sumbernya,
tapi menghidupkan setiap jiwa yang haus.
Di hari ketika ia meletakkan jabatan formalnya, yang tidak pernah ia anggap sebagai mahkota, kami tidak melepas seorang pejabat gerejawi. Kami menyaksikan seorang yang telah menjadi jalan sunyi bagi banyak orang menemukan terang.
Ia tidak bersinar karena lampu sorot. Ia bercahaya karena peluh dan kesetiaan.
Dari pintu kamar kecilnya di Klaten hingga mimbar-mimbar di Pemalang,
dari tangan yang menggenggam jemaat
hingga doa yang dibisikkan di ruang-ruang sunyi,
hidupnya adalah lembar-lembar kasih yang dibaca Tuhan dengan mata penuh belas.
Ia mungkin telah selesai dalam struktur,
tetapi ia belum pernah usai dalam kasih.
Terima kasih, untuk langkah yang perlahan, untuk kasih yang tak ingin dikenal, dan untuk hidup yang tanpa berkata apa pun.
Ia telah menyuarakan Kristus dengan nyaring dengan perbuatannya dan tidak sekedar dari kata-katanya.
Slawi, 23 Mei2025