
Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si. – Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI)
Abstrak
Artikel dalam tulisan saya kali ini ingin menyajikan analisis mendalam mengenai relevansi Pancasila, khususnya Sila Kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” dalam menghadapi tantangan kebebasan beragama di Indonesia pada era digital.
Fokus utama tulisan ini adalah evaluasi kritis terhadap Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama Nomor 9 Tahun 2006 dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006, terutama Pasal 13, yang terbukti menjadi penghambat signifikan bagi kebebasan beribadah, khususnya bagi komunitas Kristen.
Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI) muncul sebagai aktor kunci dalam mengadvokasi reformasi regulasi ini. Data statistik dan studi kasus menunjukkan pola pelanggaran kebebasan beragama yang mengkhawatirkan, seringkali dipicu oleh interpretasi PBM yang diskriminatif dan tekanan mayoritas.
Arikel ini juga akan mengeksplorasi dinamika moderasi beragama di ranah digital, menyoroti baik ancaman ujaran kebencian maupun peluang untuk memperkuat toleransi melalui platform daring.
Berdasarkan beberapa temuan dalam artikel ini, merekomendasikan pencabutan Pasal 13 PBM dan pembentukan kerangka regulasi baru yang berlandaskan hak asasi manusia dan konstitusi, serta penguatan peran pemerintah dan masyarakat sipil dalam mempromosikan kebebasan beragama yang setara dan berkelanjutan.
1. Pendahuluan: Pancasila sebagai Fondasi Bangsa dan Urgensi Refleksi Kontemporer
1.1. Sejarah Singkat Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945
Tanggal 1 Juni setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila, sebuah momen krusial dalam sejarah bangsa Indonesia. Tanggal ini menandai puncak perdebatan dan perumusan dasar negara yang terjadi selama sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dari 28 Mei hingga 1 Juni 1945.1 Dalam sidang tersebut, sejumlah tokoh bangsa, termasuk Mohammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno, menyampaikan gagasan-gagasan fundamental mereka mengenai asas dasar negara yang akan didirikan.1 Puncaknya, pada 1 Juni 1945, Soekarno secara resmi memperkenalkan istilah “Pancasila,” menjelaskan bahwa “Sila” berarti “asas” atau “dasar,” dan menegaskan bahwa kelima prinsip ini akan menjadi fondasi abadi bagi Negara Indonesia.1
Setelah pidato bersejarah Soekarno, BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang bertugas merumuskan lebih lanjut Pancasila sebagai dasar negara dan menyusun Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.1 Hasil kerja Panitia Sembilan ini termaktub dalam Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, yang salah satu poinnya adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.1 Namun, klausul ini memicu perdebatan sengit antara kelompok nasionalis dan kelompok Islam. Keberatan, terutama dari perwakilan Indonesia Timur seperti J. Latuharhary, yang disampaikan dalam rapat Panitia Perancang UUD pada 11 Juli 1945, akhirnya mengarah pada penghapusan klausul syariat Islam yang spesifik.1 Perubahan ini menghasilkan rumusan Pancasila yang final dan diterima secara universal, yang kemudian disahkan sebagai dasar negara Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945.1 Penetapan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila dan hari libur nasional menegaskan pentingnya momen ini sebagai tonggak ideologis bangsa.1
1.2. Relevansi Sila Kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dalam Konteks Kebebasan Beragama
Sila Kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” memiliki relevansi sentral dalam diskursus kebebasan beragama di Indonesia. Sila ini secara inheren mengandung nilai-nilai kemanusiaan universal, meliputi pengakuan terhadap martabat manusia, perlakuan yang adil terhadap setiap individu, dan pemahaman bahwa manusia beradab memiliki daya cipta, rasa, karsa, dan keyakinan, yang membedakannya dari makhluk lain.2 Nilai-nilai ini mendorong tumbuhnya sikap saling menyayangi, mengasihi, dan menghormati nilai-nilai hidup setiap orang, serta secara eksplisit bertujuan untuk mencegah pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia.2
Prinsip ini menekankan pentingnya menghormati hak asasi manusia, termasuk hak untuk berbeda, dan menjunjung tinggi martabat manusia tanpa membeda-bedakan berdasarkan suku, agama, ras, atau budaya. Ini secara langsung berimplikasi pada jaminan konstitusional kebebasan beragama. Namun, adanya kebutuhan akan laporan yang secara spesifik membahas “Perjuangan Moderasi Beragama” dan “praktik kebebasan beragama” menunjukkan bahwa meskipun Pancasila mengajarkan nilai-nilai ini sebagai fondasi persatuan, implementasinya di lapangan tidak selalu berjalan mulus. Fondasi ini, yang seharusnya kokoh, seringkali menghadapi tekanan dan memerlukan perjuangan aktif untuk diwujudkan sepenuhnya. Adanya ketegangan antara cita-cita Pancasila dan realitas praktik kebebasan beragama di Indonesia menjadi tema sentral yang akan dieksplorasi lebih lanjut.
1.3. Pancasila sebagai Perekat Persatuan dalam Kebhinekaan
Pancasila tidak hanya berfungsi sebagai dasar negara, tetapi juga sebagai ideologi pemersatu dan identitas bangsa Indonesia, yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.3 Indonesia dikenal kaya akan keberagaman agama, ras, suku, dan adat istiadat, dan Pancasila dianggap sebagai instrumen utama untuk mencapai persatuan dan kesatuan di tengah kebhinekaan ini.4
Filosofi Pancasila diyakini mampu mengatasi segala perbedaan atau pertentangan yang mungkin timbul, mengembalikan harmoni ketika konflik muncul.4 Semboyan nasional “Bhineka Tunggal Ika” (Berbeda-beda tetapi Tetap Satu) secara intrinsik terhubung dengan Pancasila sebagai penyatu bangsa, menegaskan bahwa persatuan adalah nilai luhur yang harus dijunjung tinggi oleh seluruh umat manusia, karena perpecahan hanya akan membawa kehancuran.4 Peran Pancasila sebagai pemersatu sangat vital karena ia mendorong nasionalisme yang didasarkan pada nilai-nilai bersama yang melampaui sekat-sekat etnis, ras, atau agama.4 Implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari mencakup penanaman patriotisme, sikap saling menghargai antar suku, ras, agama, dan golongan, serta menumbuhkan integrasi dan kesetaraan untuk kemajuan bangsa.4
1.4. Latar Belakang Isu Kebebasan Beragama dan Moderasi di Era Digital
Meskipun Pancasila menjadi fondasi ideologis yang kuat bagi persatuan dan kebebasan beragama, praktik di lapangan menunjukkan bahwa implementasi hak-hak ini, terutama bagi kelompok minoritas, masih menghadapi tantangan signifikan. Era digital, dengan segala kemudahan akses informasi dan komunikasi, turut memperumit dinamika ini. Di satu sisi, ruang digital menawarkan platform untuk menyebarkan narasi toleransi dan moderasi beragama; di sisi lain, ia juga menjadi medium yang efektif bagi penyebaran ujaran kebencian dan intoleransi. Bagian selanjutnya dari laporan ini akan mengkaji bagaimana cita-cita Pancasila berhadapan dengan realitas isu kebebasan beragama, khususnya terkait pendirian rumah ibadah, dan bagaimana moderasi beragama berjuang di tengah gelombang informasi digital.
2. Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI) dan Advokasi Kebebasan Beragama
2.1. Misi dan Komitmen PWGI dalam Melaporkan dan Mengadvokasi Hak Komunitas Kristen
Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI) adalah sebuah organisasi yang didedikasikan untuk melaporkan dan mengadvokasi hak serta kepentingan komunitas Kristen di Indonesia.5 Misi inti PWGI mencakup promosi kebebasan beragama, toleransi, dan keadilan bagi semua kelompok agama.5 Melalui karya jurnalistik mereka, PWGI berperan sebagai saluran vital untuk menyampaikan keprihatinan dan pengalaman komunitas Kristen kepada publik luas dan para pembuat kebijakan.5 Peran ganda ini—sebagai pengawas (watchdog) dan advokat—menempatkan PWGI sebagai aktor masyarakat sipil yang kritis.
Mereka tidak hanya mendokumentasikan pelanggaran kebebasan beragama, tetapi juga secara aktif berkampanye untuk perubahan kebijakan. Naskah Akademik yang mereka susun, misalnya, merupakan produk formal dari upaya advokasi ini, yang menyajikan argumen dan rekomendasi terstruktur untuk reformasi.5 Hal ini menunjukkan bahwa kerja PWGI bukan sekadar responsif, melainkan proaktif dalam membentuk lingkungan regulasi yang lebih adil.
Latar belakang jurnalistik mereka memberikan kredibilitas pada laporan-laporan mereka, sementara peran advokasi mereka memberikan agenda yang jelas untuk reformasi, menjadikan mereka suara penting dalam lanskap kebebasan beragama di Indonesia.
2.2. Sikap PWGI terhadap Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006
PWGI secara eksplisit mendesak pemerintah untuk segera merevisi Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama Nomor 9 Tahun 2006 dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006, khususnya terkait dengan pendirian rumah ibadah.5 Argumen utama PWGI untuk revisi ini didasarkan pada pandangan bahwa regulasi yang berlaku saat ini bersifat restriktif dan diskriminatif terhadap agama minoritas.5 Mereka berpendapat bahwa persyaratan yang ditetapkan, terutama “aturan 90/60” (persyaratan 90 pengguna dan 60 dukungan warga setempat), menciptakan hambatan signifikan bagi komunitas Kristen yang ingin membangun gereja.5
PWGI meyakini bahwa PBM telah disalahgunakan untuk membenarkan intoleransi dan menolak hak konstitusional untuk beribadah.5 Oleh karena itu, mereka mengadvokasi revisi PBM untuk memastikan kebebasan beragama dan kesetaraan yang lebih besar bagi semua warga negara, sejalan dengan amanat Konstitusi dan standar hak asasi manusia internasional.5 PWGI juga menyatakan kesediaannya untuk berkolaborasi dengan organisasi keagamaan lain, kelompok hak asasi manusia (seperti SETARA Institute dan Komnas HAM), serta para ahli hukum untuk mengadvokasi pencabutan atau revisi Pasal 13 PBM.5 Sikap tegas PWGI ini mengindikasikan bahwa regulasi yang seharusnya berfungsi sebagai panduan dan fasilitator telah berubah menjadi alat untuk membenarkan intoleransi dan penolakan hak konstitusional. Ini menunjukkan adanya cacat fundamental dalam desain atau implementasi PBM, yang mengubah instrumen regulasi menjadi penghalang terhadap hak-hak dasar. PBM, khususnya Pasal 13, bukan hanya klausul bermasalah, melainkan pendorong sistemik diskriminasi terhadap agama minoritas, terutama Kristen, di Indonesia, yang menunjukkan kesenjangan antara tujuan dan hasil.
3. Analisis Kritis Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, Khususnya Pasal 13
3.1. Kerangka Hukum PBM dan Ketentuan Pasal 13 tentang Pendirian Rumah Ibadah
Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama Nomor 9 Tahun 2006 dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006 merupakan regulasi yang dirancang untuk memandu kepala daerah dalam memelihara kerukunan umat beragama, memberdayakan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan mengatur pendirian rumah ibadah.5 PBM ini menggantikan Surat Keputusan Bersama (SKB) tahun 1969 sebelumnya, dengan tujuan memberikan panduan terpadu dalam mengelola keberagaman agama di Indonesia yang terdesentralisasi.5
Secara spesifik, Pasal 13 PBM ini mengatur persyaratan pendirian rumah ibadah dengan tiga ketentuan utama 5:
- Ayat (1): “Kebutuhan” dan “Komposisi”: Ayat ini mensyaratkan bahwa pendirian rumah ibadah harus didasarkan pada “kebutuhan nyata dan sungguh-sungguh” sesuai dengan komposisi jumlah penduduk umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.5 Ketentuan ini memperkenalkan unsur subjektivitas yang tinggi, memungkinkan pemerintah daerah untuk menafsirkan “kebutuhan” secara sewenang-wenang. Akibatnya, praktik diskriminatif dapat terjadi terhadap agama minoritas yang jumlah penganutnya mungkin tidak memenuhi ambang batas tertentu di tingkat lokal, atau yang populasinya tersebar dan tidak terkonsentrasi di satu kelurahan/desa.5 Kurangnya definisi yang jelas tentang “kebutuhan nyata dan sungguh-sungguh” membuka peluang bagi penilaian subjektif oleh pejabat lokal yang mungkin dipengaruhi oleh bias pribadi atau tekanan politik lokal.
- Ayat (2): Menjaga Kerukunan, Ketertiban Umum, dan Kepatuhan terhadap Hukum: Ayat ini menetapkan bahwa pendirian rumah ibadah harus menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketertiban umum, dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.5 Meskipun tampak wajar, kriteria “menjaga kerukunan umat beragama” seringkali disalahgunakan oleh kelompok oposisi untuk menghalangi pembangunan gedung keagamaan minoritas. Hal ini secara efektif memberikan hak veto kepada unsur-unsur yang berpotensi intoleran dalam komunitas mayoritas, sehingga merusak hak minoritas untuk menjalankan agama mereka.5 Dalam praktiknya, ketakutan akan potensi gangguan, yang seringkali dipicu oleh prasangka atau intoleransi, dapat digunakan sebagai dalih untuk menolak izin, bahkan ketika komunitas agama telah mengikuti semua prosedur hukum lainnya. Ini menempatkan beban potensi oposisi pada komunitas minoritas, bukan pada negara untuk memastikan perlindungan hak mereka untuk beribadah secara damai.5
- Ayat (3): Pertimbangan Bertingkat Berdasarkan Batas Wilayah Administratif: Ayat ini menjelaskan ketentuan bahwa jika kebutuhan di tingkat kelurahan/desa tidak terpenuhi, komposisi jumlah penduduk di tingkat kecamatan, kabupaten/kota, atau provinsi dapat dipertimbangkan.5 Meskipun ini menawarkan beberapa fleksibilitas, penekanan awal pada tingkat kelurahan/desa masih menimbulkan kendala signifikan bagi agama minoritas. Selain itu, proses peningkatan pertimbangan ke tingkat administratif yang lebih tinggi mungkin rumit dan tunduk pada hambatan birokrasi lebih lanjut dan tekanan politik lokal, menyebabkan ketidakpastian yang berkepanjangan.5
Selain Pasal 13, Pasal 14 PBM juga relevan, mengatur persyaratan khusus seperti daftar nama pengguna, dukungan masyarakat, dan rekomendasi dari Kantor Kementerian Agama dan FKUB.5 Peran FKUB dalam memberikan rekomendasi sangat penting, namun seringkali menjadi penghambat, dengan FKUB terkadang berpihak pada kepentingan mayoritas atau dipengaruhi oleh tekanan lokal untuk menolak rekomendasi kepada agama minoritas.5
3.2. Implikasi Pasal 13: Subjektivitas, Diskriminasi, dan Hak Veto Komunitas
Implikasi Pasal 13 PBM sangatlah kompleks dan seringkali merugikan kelompok agama minoritas. Frasa seperti “kebutuhan nyata dan sungguh-sungguh” dan “komposisi jumlah penduduk” dalam Pasal 13 Ayat (1) memberikan celah bagi interpretasi subjektif dan aplikasi yang sewenang-wenang oleh otoritas lokal.5 Hal ini secara tidak proporsional memengaruhi kelompok agama minoritas, terutama yang populasinya tidak terkonsentrasi di satu wilayah administratif terkecil.
Kriteria “menjaga kerukunan umat beragama” dalam Pasal 13 Ayat (2) seringkali disalahgunakan oleh kelompok intoleran, secara efektif memberikan mereka “hak veto” atas pendirian rumah ibadah minoritas.5 Ini menciptakan paradoks yang mendalam: prinsip yang dimaksudkan untuk mempromosikan kohesi sosial (“kerukunan”) justru disalahgunakan sebagai mekanisme untuk menekan hak-hak minoritas. “Kerukunan beragama” dalam konteks ini menjadi eufemisme untuk “kenyamanan mayoritas” atau “ketiadaan protes,” daripada keadaan saling menghormati dan kesetaraan hak yang sejati. Hal ini menyoroti cacat mendasar dalam konseptualisasi kerukunan dalam PBM, yang memprioritaskan penghindaran konflik (bahkan jika direkayasa oleh kelompok intoleran) di atas perlindungan kebebasan fundamental.
Proses pertimbangan bertingkat dalam Pasal 13 Ayat (3), meskipun menawarkan fleksibilitas, seringkali terhambat oleh birokrasi yang rumit dan tekanan politik lokal, sehingga menyulitkan kelompok minoritas untuk menavigasi proses perizinan.5 Kurangnya kejelasan dalam bahasa PBM, seperti definisi yang tidak tegas mengenai “kebutuhan nyata dan sungguh-sungguh” dan prosedur eskalasi yang tidak terdefinisi dengan baik, menciptakan celah signifikan yang dapat dieksploitasi oleh otoritas lokal atau kelompok intoleran untuk menolak izin tanpa dasar hukum yang jelas.5 Opasitas birokrasi ini menjadi pendorong struktural diskriminasi, mempersulit kelompok minoritas untuk menantang keputusan yang merugikan, bahkan ketika mereka secara teknis memenuhi persyaratan. Ini mengubah prosedur administratif menjadi instrumen penindasan, bukan fasilitasi, sehingga menghambat realisasi hak-hak konstitusional.
4. Praktik Kebebasan Beragama di Indonesia: Studi Kasus dan Data Pelanggaran
4.1. Dampak PBM pada Komunitas Kristen: Studi Kasus Penyegelan dan Penolakan Pembangunan Gereja
Dokumen PWGI menyajikan dua belas studi kasus terperinci yang menggambarkan dampak langsung PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, khususnya Pasal 13, terhadap komunitas Kristen di seluruh Indonesia.5 Kasus-kasus ini secara konsisten menunjukkan bagaimana persyaratan administratif dan keberatan masyarakat digunakan untuk menghambat kebebasan beragama.
- Penyegelan GKPS Purwakarta (April 2023): Gereja ini disegel oleh Bupati Purwakarta dengan alasan tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan untuk menghindari konflik masyarakat.5 Para kritikus berpendapat bahwa masalah administratif seharusnya tidak mengesampingkan hak konstitusional untuk beribadah.5
- Penyegelan Gereja Palsigunung Ciracas, Jakarta Timur (Maret 2023): Disegel karena penggunaan bangunan yang tidak sesuai izinnya (kantor, bukan ibadah) dan tidak adanya Sertifikat Laik Fungsi (SLF).5 Kasus ini menyoroti kerumitan birokrasi dalam mengalihfungsikan bangunan untuk tujuan keagamaan.5
- Penyegelan GAB Damai Sejahtera Jombang (Agustus 2024): Gereja yang menggunakan ruko ini disegel karena diklaim sebagai aset negara yang diperuntukkan bagi perdagangan.5 Kasus ini menimbulkan kekhawatiran tentang penggunaan sengketa properti sebagai dalih untuk menutup tempat ibadah, terutama setelah digunakan dalam jangka waktu lama.5
- Sengketa GKI Yasmin Bogor (2008 – masih berlangsung): Gereja ini disegel oleh pemerintah kota Bogor karena keberatan masyarakat, meskipun telah memperoleh IMB pada tahun 2006.5 Kasus berkepanjangan ini menunjukkan kekuatan tekanan masyarakat lokal yang mengesampingkan izin hukum.5
- Penyegelan Tiga Gereja di Jambi (September 2018): Gereja Methodist Indonesia (GMI), Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA), dan Gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) disegel oleh Satpol PP dengan alasan tidak adanya IMB dan keberatan masyarakat berdasarkan ketidakpatuhan terhadap aturan 90/60 PBM.5 Ini adalah contoh langsung penerapan PBM yang menyebabkan penyegelan gereja-gereja yang sudah mapan.5
- Penolakan Pembangunan Gereja Toraja di Duri, Riau (2024): Protes massa oleh masyarakat mayoritas Muslim menentang pembangunan gereja, meskipun gereja telah mengajukan izin secara legal.5 Kasus ini menyoroti kekuatan sentimen mayoritas dalam menghalangi hak-hak kelompok agama minoritas.5
- Penolakan Pembangunan Gereja HKBP Maranatha Cilegon (2022): Oposisi kuat dari “Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon,” dengan Walikota dan pejabat lainnya menandatangani petisi menentang pembangunan gereja, dengan alasan dekrit Bupati tahun 1975 yang sudah usang.5
- Penolakan Pembangunan Gereja Banyuanyar Solo (2023): Warga setempat memprotes rencana pembangunan gereja dan sekolah Minggu.5 Bahkan di kota yang diakui toleransinya, kasus ini menunjukkan bahwa oposisi terhadap pembangunan gereja masih dapat muncul.5
- Penolakan Pembangunan Gereja Pegambiran Cirebon (2024): Warga setempat menentang rencana pembangunan gereja dengan alasan tidak terpenuhinya persyaratan 90 pengguna dan dukungan 60 warga setempat dalam PBM.5 SETARA Institute mencatat bahwa penolakan tersebut melanggar hak konstitusional.5
- Penolakan Pembangunan Gereja Kanaan Pondok Karya Tangerang Selatan (2024): Warga membuat petisi menentang pembangunan gereja, menuduh kurangnya transparansi dalam proses persetujuan dan mempertanyakan keabsahan tanda tangan yang diperoleh.5
- Penolakan Pembangunan Gereja Lakarsantri Surabaya (2011 – masih berlangsung): Warga menentang pembangunan gereja karena kedekatannya dengan rumah mereka, meskipun gereja telah membeli tanah dan memperoleh 180 persetujuan warga (melebihi persyaratan PBM sebanyak 60).5 Kasus yang berlarut-larut ini menunjukkan bahwa bahkan melebihi persyaratan formal PBM tidak menjamin hak untuk membangun rumah ibadah jika ada oposisi masyarakat yang terus-menerus.5
- Gangguan Ibadah GBI Pasir Mas Kota Banjarmasin (Tanggal tidak ditentukan): Konflik timbul dari pengusiran jemaat dari rumah seorang pendeta tempat mereka mengadakan kebaktian Minggu, dengan beberapa orang dalam komunitas Muslim keberatan dengan pendirian rumah ibadah minoritas.5 Kasus ini menggambarkan bagaimana intoleransi agama yang mendasarinya dapat terwujud dalam tindakan langsung untuk mencegah kelompok minoritas beribadah, bahkan di ruang pribadi pada awalnya.5
Pola yang muncul dari studi kasus ini menunjukkan bahwa alasan administratif atau teknis seringkali hanya menjadi dalih, bukan akar masalahnya. Intoleransi beragama atau tekanan mayoritas seringkali menjadi faktor pendorong utama, yang kemudian memanfaatkan hambatan birokrasi atau bahkan memalsukan masalah administratif untuk menjustifikasi penolakan kebebasan beragama. Hal ini mengindikasikan adanya penggunaan regulasi dan proses birokrasi secara sengaja oleh aktor-aktor intoleran, terkadang dengan keterlibatan atau kelambanan pihak berwenang negara, yang mengubah persyaratan prosedural menjadi alat penindasan.
4.2. Suara dari Lapangan: Testimoni Korban dan Saksi
Testimoni dari berbagai individu dan organisasi menggarisbawahi dampak kemanusiaan dan kekhawatiran hukum dari pelanggaran kebebasan beragama:
- GKPS Purwakarta: Direktur LBH Bandung, Lasma Natalia, dan Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, mengkritik penyegelan tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia, menegaskan bahwa izin administratif tidak boleh mengesampingkan hak konstitusional untuk beribadah. Solusi alternatif tempat ibadah dianggap tidak praktis oleh jemaat karena perbedaan denominasi dan masalah logistik.5
- Gereja Allah Baik Jombang: Seorang anggota jemaat, Anania Budi Yanuari Hidayat, mengungkapkan perasaan sakit hati, kaget, dan merasa dianaktirikan. Pendeta Herry Soesanto menyayangkan penyegelan tersebut dan mengkhawatirkan nasib jemaatnya, serta melaporkan perlakuan kasar saat penyegelan.5
- GKI Yasmin Bogor: Jemaat mengungkapkan frustrasi atas penolakan hak mereka untuk beribadah meskipun memiliki izin, mengkritik tindakan pemerintah daerah sebagai tidak logis dan dipengaruhi oleh intoleransi.5
- Penolakan Gereja Cilegon: Sekretaris Jenderal GMKI, Martin Ronaldo, menganggap penolakan tersebut sebagai pelanggaran demokrasi dan UUD 1945, mengkritik dukungan Walikota terhadap penolakan. Gereja menegaskan telah mengikuti prosedur, sementara penolak mengutip dekrit Bupati lama.5
- Penolakan Gereja Banyuanyar Solo: Walikota Solo, Gibran Rakabuming, menyatakan masalah sedang diselesaikan dan menegaskan komitmen pemerintah kota terhadap kebebasan beribadah jika peraturan diikuti.5
- Penolakan Gereja Kanaan Pondok Karya: Warga menegaskan hak untuk menolak atau mendirikan gereja, dengan keputusan akhir di Kementerian Agama. Penolak mengutip kurangnya transparansi dalam memperoleh persetujuan.5
- Penolakan Gereja Lakarsantri Surabaya: Juru bicara GKI Citraland, Yohana Litamahuputy, menyatakan kebingungan atas penolakan yang terus berlanjut meskipun persyaratan izin telah terpenuhi dan perjuangan berkepanjangan.5
4.3. Analisis Statistik Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) oleh SETARA Institute dan Organisasi Lain
Data dari SETARA Institute mengenai pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) menunjukkan tren yang mengkhawatirkan dan persisten. Pada tahun 2023, tercatat 217 peristiwa dan 329 tindakan pelanggaran, meningkat dari 175 peristiwa dan 333 tindakan pada tahun 2022.5 Jumlah pelanggaran yang tinggi dan konsisten ini menunjukkan masalah yang berkelanjutan.5
Gangguan terhadap tempat ibadah mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2022, 50 tempat ibadah mengalami gangguan, dengan gereja menjadi yang paling terdampak (21 kasus). Tren ini berlanjut pada tahun 2023, di mana 65 tempat ibadah mengalami gangguan, dan gereja kembali menjadi yang paling terdampak dengan 40 kasus.5 Jenis-jenis gangguan meliputi penolakan pendirian, penolakan tempat yang sudah ada, pembongkaran, perusakan, dan perusakan fasilitas.5 Mayoritas penolakan pendirian tempat ibadah didasarkan pada tidak terpenuhinya atau adanya penyimpangan dalam interpretasi persyaratan PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 (aturan 90 pengguna dan 60 dukungan warga), seringkali karena intoleransi dan mayoritarianisme, bahkan ketika persyaratan administratif terpenuhi.5
Berikut adalah tabel yang merangkum data pelanggaran KBB:
Tabel 1: Studi Kasus Penyegelan Gereja dan Penolakan Pembangunan
Lokasi | Tanggal (Kira-kira) | Jenis Insiden | Alasan yang Dikutip | Sumber |
Purwakarta, Jawa Barat | April 2023 | Penyegelan Gereja | Kurangnya izin, menghindari konflik masyarakat | 5 |
Ciracas, Jakarta Timur | Maret 2023 | Penyegelan Gereja | Ketidaksesuaian izin bangunan (kantor, bukan ibadah), tidak ada SLF | 5 |
Jombang, Jawa Timur | Agustus 2024 | Penyegelan Gereja | Diklaim aset negara untuk perdagangan | 5 |
Bogor, Jawa Barat | 2008 – masih berlangsung | Penyegelan/Penolakan Gereja | Keberatan masyarakat, masalah nama jalan | 5 |
Jambi | September 2018 | Penyegelan Gereja (3 gereja) | Kurangnya IMB, keberatan masyarakat, tidak patuh PBM 9 & 8 (aturan 90/60) | 5 |
Duri, Riau | 2024 | Penolakan Pembangunan Gereja | Keberatan masyarakat, “karakter lokal,” stabilitas sosial | 5 |
Cilegon, Banten | 2022 | Penolakan Pembangunan Gereja | Mengandalkan dekrit Bupati tahun 1975 | 5 |
Banyuanyar, Solo, Jawa Tengah | 2023 | Penolakan Pembangunan Gereja | Penolakan masyarakat | 5 |
Pegambiran, Cirebon, Jawa Barat | 2024 | Penolakan Pembangunan Gereja | Tidak terpenuhinya PBM 9 & 8 (aturan 90/60) | 5 |
Pondok Karya, Tangerang Selatan, Banten | 2024 | Penolakan Pembangunan Gereja | Kurangnya transparansi, pengumpulan tanda tangan yang dipertanyakan | 5 |
Lakarsantri, Surabaya, Jawa Timur | 2011 – masih berlangsung | Penolakan Pembangunan Gereja | Kedekatan dengan warga, meskipun melebihi aturan 90/60 | 5 |
Banjarmasin, Kalimantan Selatan | Tidak ditentukan | Gangguan Ibadah/Penolakan Gereja | Keberatan masyarakat terhadap rumah ibadah minoritas | 5 |
Tabel 2: Data Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) di Indonesia (2022-2023)
Kategori | 2022 | 2023 |
Total Peristiwa KBB | 175 | 217 |
Total Tindakan KBB | 333 | 329 |
Gangguan Tempat Ibadah (Total) | 50 | 65 |
Gangguan Gereja | 21 | 40 |
Aktor Negara (Total Tindakan) | 168 | 114 |
– Pemerintah Daerah | 47 | 40 |
– Polisi | 23 | 24 |
– Satpol PP | 17 | 10 |
Aktor Non-Negara (Total Tindakan) | 165 | 215 |
– Warga | 94 | 78 |
– Individu | 30 | 19 |
– Organisasi Keagamaan/MUI | 16 (masing-masing) | 17 (MUI) |
– FKUB | Termasuk 5 teratas | Menurun signifikan |
Provinsi dengan Pelanggaran Tertinggi | Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta | Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta |
Sumber: SETARA Institute 5
Analisis data ini menunjukkan pergeseran dinamika pelaku pelanggaran. Meskipun aktor negara, terutama pemerintah daerah, tetap menjadi pelaku utama, terdapat peningkatan signifikan dalam tindakan yang dilakukan oleh aktor non-negara pada tahun 2023 dibandingkan tahun 2022.5 Warga secara konsisten menjadi pelaku non-negara tertinggi.5 Peningkatan peran aktor non-negara, khususnya warga, menunjukkan adanya penguatan kapasitas koersif di tengah masyarakat.5 Ini mengindikasikan normalisasi atau bahkan pemberdayaan intoleransi di tingkat komunitas. Sementara aktor negara (terutama pemerintah daerah) tetap menjadi masalah, peningkatan obstruksi yang dipimpin warga menunjukkan bahwa isu kebebasan beragama bukan hanya masalah regulasi dari atas ke bawah, tetapi juga tantangan sosial yang mengakar. Penurunan keterlibatan FKUB dapat diinterpretasikan sebagai penurunan keterlibatan mereka dalam tindakan diskriminatif, atau peran mereka telah dilewati oleh tindakan langsung warga. Interaksi kompleks antara kelambanan/keterlibatan negara dan aktor non-negara yang diberdayakan menciptakan hambatan yang tangguh terhadap kebebasan beragama, yang menuntut solusi multi-segi.
5. Perspektif Hukum dan Hak Asasi Manusia terhadap Pasal 13 PBM
5.1. Konflik dengan Jaminan Konstitusional UUD 1945
Pasal 13 Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama Nomor 9 Tahun 2006 dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006 menimbulkan berbagai kekhawatiran dari perspektif hukum tata negara dan hak asasi manusia, karena dianggap melanggar hak-hak fundamental yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.5
- Pasal 29 UUD 1945: Pasal ini secara tegas menjamin kebebasan beragama dan beribadah bagi seluruh warga negara. Para ahli hukum berpendapat bahwa Pasal 13 PBM, dengan persyaratan yang ketat, mengintervensi hak fundamental ini, khususnya bagi agama minoritas.5
- Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945: Pasal ini memastikan kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinan, serta kebebasan untuk menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani. Hambatan yang diciptakan oleh Pasal 13 dapat dilihat sebagai penghalang ekspresi keyakinan beragama melalui pendirian tempat ibadah.5
- Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: Pasal ini menjamin hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Penerapan Pasal 13 yang diskriminatif, yang seringkali secara tidak proporsional memengaruhi agama minoritas, menimbulkan kekhawatiran serius tentang perlakuan yang sama di hadapan hukum.5
- Pasal 28I ayat (2) UUD 1945: Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif berdasarkan agama. Implementasi praktis Pasal 13 seringkali menyebabkan diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas dalam upaya mereka membangun rumah ibadah.5
Adanya regulasi seperti Pasal 13 PBM, yang secara efektif menempatkan hak-hak fundamental di bawah kendali prosedur administratif atau sentimen mayoritas, menunjukkan adanya masalah sistemik. Negara, melalui regulasinya, secara de facto menundukkan hak-hak konstitusional yang dijamin kepada kenyamanan administratif atau, yang lebih mengkhawatirkan, kepada potensi oposisi mayoritas. PBM, alih-alih memfasilitasi hak, menjadi mekanisme pembatasannya, secara fundamental mengubah keseimbangan antara tanggung jawab negara untuk melindungi hak dan perannya dalam menjaga ketertiban umum. Hal ini menunjukkan perlunya perubahan paradigma dalam regulasi kebebasan beragama, beralih dari kerangka “berbasis izin” menjadi “berbasis hak,” di mana tugas utama negara adalah menegakkan kebebasan fundamental.
5.2. Inkonsistensi dengan Prinsip Hak Asasi Manusia Internasional
Selain konflik dengan konstitusi nasional, Pasal 13 PBM juga tidak konsisten dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia internasional.5
- Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM): Pasal ini menegaskan hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama, termasuk kebebasan untuk mewujudkan agama atau keyakinan seseorang dalam beribadah, beramal, berpraktik, dan mengajar. Pembatasan yang diberlakukan oleh Pasal 13 dapat dilihat sebagai penghambat hak untuk mewujudkan agama melalui pendirian tempat ibadah.5
- Pasal 18 Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR): ICCPR juga menjamin hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Indonesia telah meratifikasi ICCPR, menjadikan ketentuan ini mengikat di bawah hukum internasional. Hambatan yang diciptakan oleh Pasal 13 dianggap tidak sesuai dengan kewajiban Indonesia di bawah ICCPR.5
- Larangan Diskriminasi Berdasarkan Agama: Hukum hak asasi manusia internasional secara tegas melarang diskriminasi berdasarkan agama. Para ahli berpendapat bahwa aturan 90/60 (persyaratan 90 pengguna dan 60 dukungan warga) dan potensi hak veto komunitas dalam Pasal 13 secara tidak proporsional memengaruhi agama minoritas, yang merupakan bentuk diskriminasi.5
Dengan mengkodifikasi persyaratan yang secara tidak proporsional memengaruhi minoritas dan memberikan hak veto yang efektif kepada mayoritas lokal, PBM memberikan legitimasi hukum bagi praktik diskriminatif. Ini berarti bahwa tindakan intoleransi bukan hanya fenomena sosial, tetapi difasilitasi atau bahkan diizinkan secara hukum oleh regulasi negara. Legitimasi diskriminasi ini mempersulit upaya untuk menantangnya dan berkontribusi pada iklim di mana hak-hak minoritas dianggap sekunder dibandingkan kenyamanan mayoritas, yang pada akhirnya merusak semangat Pancasila dan supremasi hukum.
5.3. Pandangan Para Ahli Hukum dan Organisasi HAM
Sejumlah ahli hukum dan organisasi hak asasi manusia telah secara konsisten menyuarakan kritik terhadap Pasal 13 PBM:
- Komnas HAM: Secara eksplisit menyatakan bahwa PBM mengandung regulasi problematik mengenai pendirian rumah ibadah dan dapat menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia. Mereka merekomendasikan revisi PBM pada tingkat Peraturan Presiden.5
- SETARA Institute: Secara konsisten mengkritik PBM, termasuk Pasal 13, sebagai diskriminatif dan sumber utama pelanggaran kebebasan beragama. Mereka mengadvokasi revisi atau penggantiannya.5
- Imparsial: Mendesak pemerintah untuk merevisi PBM, yang mereka nilai sering digunakan untuk mendiskriminasi kelompok agama minoritas.5
- Banyak Ahli Hukum: Berpendapat bahwa PBM memprioritaskan hak-hak mayoritas dan memberikan beban yang tidak semestinya pada agama minoritas, sehingga melanggar prinsip kesetaraan di hadapan hukum dan hak atas kebebasan beragama.5
Pandangan-pandangan ini secara kolektif menegaskan bahwa Pasal 13 PBM bukan sekadar masalah teknis administratif, melainkan isu fundamental yang berimplikasi pada penegakan hak asasi manusia dan prinsip konstitusional di Indonesia.
6. Moderasi Beragama di Era Digital: Tantangan dan Peluang
6.1. Tantangan Penyebaran Ujaran Kebencian dan Intoleransi di Media Sosial
Era digital, khususnya media sosial, menghadirkan tantangan signifikan bagi upaya moderasi beragama. Meskipun menawarkan kebebasan berekspresi, platform ini juga memfasilitasi penyebaran konten negatif dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.6 Data menunjukkan adanya fluktuasi kasus ujaran kebencian di media sosial dari tahun 2017 hingga 2021, dengan angka tertinggi mencapai 3.668 kasus pada tahun 2019, sebagian besar dipicu oleh dinamika pemilihan presiden dan legislatif.6
Ujaran kebencian tidak hanya terbatas pada isu suku atau ras, tetapi juga semakin marak menyasar kelompok agama, termasuk Islam.6 Contohnya, ditemukan akun-akun YouTube yang sengaja dibuat untuk menyebarkan ujaran kebencian terhadap Islam.6 Kebebasan berekspresi yang tidak terkontrol di media sosial dapat menyebabkan penyebaran nilai-nilai budaya asing, baik positif maupun negatif, yang memengaruhi pengguna di Indonesia, terutama remaja.7 Dampak ujaran kebencian sangat luas, mulai dari pengucilan sosial, trauma psikologis, ketegangan sosial, hingga polarisasi berdasarkan kelompok identitas.8 Hal ini dapat menciptakan narasi permusuhan, seringkali membingkai “aliran sesat” atau budaya lokal sebagai ancaman, dan memicu permusuhan politik.8 Instagram, misalnya, diidentifikasi sebagai platform di mana ujaran kebencian atas nama agama Islam sering ditemukan.8
Penyebaran informasi palsu dan berita bohong secara masif menghambat upaya moderasi beragama di era digital. Ruang publik digital yang memungkinkan anonimitas dapat memperburuk situasi, menyebabkan peningkatan intoleransi dan penurunan kesadaran akan moderasi.9 Hal ini menunjukkan bahwa platform digital bukanlah saluran netral, melainkan pembentuk kuat wacana publik tentang masalah keagamaan. Kemudahan dalam memanfaatkan dan mengakses dakwah 9 diimbangi dengan kemudahan dalam menyebarkan informasi palsu dan berita bohong.9 Oleh karena itu, memiliki alat digital saja tidak cukup; ada kebutuhan kritis akan literasi digital, pemikiran kritis, dan narasi tandingan yang proaktif untuk memanfaatkan peluang dan memitigasi tantangan. Ruang digital adalah medan pertempuran baru bagi perjuangan moderasi beragama.
6.2. Peran Media Digital dalam Memperkuat Toleransi dan Harmoni
Meskipun dihadapkan pada tantangan, era digital juga menawarkan peluang signifikan untuk memperkuat moderasi beragama.9 Media sosial dapat dimanfaatkan secara efektif untuk menyebarkan konten positif yang mendorong toleransi, keberagaman, dan perdamaian, sehingga menciptakan harmoni sosial.10
Familiaritas generasi muda dengan media sosial membuka peluang besar bagi para pendakwah, khususnya anak muda, untuk menyebarkan konten dakwah digital. Ini sangat mendukung dalam menyampaikan pentingnya moderasi beragama untuk mencegah konflik dalam masyarakat yang heterogen.9 Teknologi juga dapat digunakan untuk meningkatkan pendidikan agama yang moderat.9 Media digital dapat menyebarkan narasi moderasi beragama, berfungsi sebagai alat yang efektif untuk melawan propaganda ekstremis yang sering tersebar di dunia maya.11 Dengan memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan pesan damai dan toleransi, komunitas dapat dibangun yang saling menghormati.11
6.3. Inisiatif Pemerintah dan Masyarakat Sipil dalam Mengampanyekan Moderasi Beragama Online
Penguatan moderasi beragama di era digital membutuhkan peran aktif dari masyarakat, pemerintah, dan lembaga pendidikan.9 Pemerintah telah mengambil langkah tegas untuk memberantas ujaran kebencian di media sosial, meskipun kontrol penuh masih menjadi tantangan.6 Pemerintah juga memiliki peran besar dalam menciptakan kebijakan yang mendukung moderasi beragama, dengan menekankan penghormatan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Ini termasuk mendukung program pendidikan yang menyoroti pentingnya saling menghormati dan memahami.11
Di sisi masyarakat sipil, terdapat berbagai inisiatif:
- Dakwah Digital: Pemanfaatan media sosial untuk dakwah digital merupakan solusi alternatif untuk meningkatkan pemahaman tentang moderasi beragama.9
- Kampanye Aktif: Organisasi keagamaan secara aktif mengampanyekan moderasi beragama melalui program pendidikan, pelatihan, dan diskusi keagamaan, dengan tujuan memperkuat toleransi dan harmoni sosial.11
- Partisipasi Komunitas: Keterlibatan aktif dalam dialog lintas agama, kegiatan sosial berbasis keberagaman, dan kampanye damai di media sosial dapat membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya moderasi beragama, mencegah polarisasi dan segregasi sosial.11
- Peran Tokoh Agama: Tokoh agama memiliki peran krusial sebagai mediator perbedaan, mempromosikan pendidikan agama yang inklusif, dan melakukan kampanye kesadaran sosial melawan ekstremisme.12
- Pendidikan Keluarga: Pendidikan toleransi harus dimulai dari lingkungan keluarga, mengajarkan anak-anak untuk menghargai perbedaan.12
Sebuah ekosistem kolaboratif antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil sangat penting untuk menciptakan lingkungan digital yang sehat dan mendukung moderasi beragama.11 Hal ini menunjukkan bahwa moderasi beragama yang efektif di era digital memerlukan pendekatan sinergis di mana kebijakan pemerintah menyediakan kerangka hukum dan regulasi yang kuat, sementara masyarakat sipil dan tokoh agama secara aktif terlibat dalam pendidikan tingkat komunitas, dialog, dan penyebaran narasi tandingan. Baik penegakan dari atas ke bawah maupun advokasi dari bawah ke atas tidak dapat berhasil secara terpisah. Ini menyoroti kebutuhan akan strategi terintegrasi yang menumbuhkan budaya moderasi dari tingkat negara hingga individu, baik daring maupun luring, mengakui bahwa perubahan sosial adalah tanggung jawab kolektif.
7. Rekomendasi untuk Masa Depan yang Adil dan Setara
7.1. Urgensi Pencabutan Pasal 13 PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006
Rekomendasi paling langsung dan krusial adalah agar pemerintah mencabut Pasal 13 PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.5 Pencabutan ini sangat mendesak mengingat sifatnya yang diskriminatif dan dampak negatif yang telah terbukti terhadap kebebasan beragama, sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai studi kasus dan data statistik.5 Aturan 90/60 dan penekanan pada persetujuan masyarakat lokal secara konsisten telah digunakan untuk menolak atau menghalangi pendirian tempat ibadah Kristen, bahkan ketika persyaratan administratif lainnya terpenuhi.5 Pasal 13 secara luas dianggap oleh para ahli hukum dan organisasi hak asasi manusia sebagai diskriminatif, tidak konsisten dengan jaminan konstitusional, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia internasional.5
7.2. Usulan Kerangka Regulasi Baru yang Menjunjung Tinggi Hak Konstitusional dan HAM
Sebuah kerangka regulasi baru untuk pendirian rumah ibadah harus dikembangkan, yang sepenuhnya selaras dengan UUD 1945 dan standar hak asasi manusia internasional.5 Kerangka ini harus mencakup:
- Menjunjung Tinggi Keutamaan Hak Konstitusional: Hak atas kebebasan beragama dan beribadah harus menjadi prinsip panduan utama, memprioritaskan hak-hak fundamental yang dijamin oleh UUD 1945.5
- Menghapus Persyaratan Diskriminatif: Menghapus aturan 90/60, yang memberikan beban yang tidak proporsional pada agama minoritas.5
- Fokus pada Persyaratan Administratif dan Teknis: Menyederhanakan proses perolehan izin bangunan berdasarkan kriteria administratif dan teknis standar, tanpa mengenakan persyaratan khusus keagamaan yang tidak semestinya.5
Rekomendasi ini menunjukkan bahwa sekadar menghapus pasal bermasalah tidaklah cukup. Masa depan yang benar-benar adil dan setara memerlukan pergeseran fundamental dari pendekatan yang restriktif dan berbasis izin menuju kerangka kerja yang proaktif dan berbasis hak. Kerangka yang diusulkan ini memindahkan beban pembuktian “kebutuhan” dan perolehan “penerimaan masyarakat” dari minoritas agama kepada negara yang secara aktif memfasilitasi dan melindungi hak konstitusional mereka untuk beribadah. Sikap proaktif ini sangat penting untuk mencegah munculnya bentuk-bentuk diskriminasi baru dan untuk secara tulus mewujudkan prinsip-prinsip Pancasila.
7.3. Peran FKUB sebagai Fasilitator dan Mediator
Alih-alih memberikan hak veto kepada FKUB melalui rekomendasi wajib, perannya harus diperkuat sebagai fasilitator dan mediator.5 FKUB harus diberdayakan untuk berperan dalam menumbuhkan dialog antaragama, mempromosikan toleransi, dan memediasi konflik terkait pendirian rumah ibadah, bukan bertindak sebagai penjaga gerbang.5
7.4. Penguatan Mekanisme Upaya Hukum dan Fasilitasi Pemerintah
- Memastikan Fasilitasi Pemerintah: Pemerintah daerah harus diwajibkan untuk secara aktif memfasilitasi proses perolehan izin yang diperlukan oleh komunitas agama dan memberikan solusi alternatif ketika menghadapi oposisi yang tidak masuk akal.5
- Menerapkan Mekanisme Upaya Hukum yang Kuat: Jalur yang jelas dan mudah diakses harus disediakan bagi komunitas agama untuk menantang keputusan diskriminatif atau hambatan yang tidak semestinya dalam pendirian rumah ibadah mereka.5
7.5. Pentingnya Pendidikan dan Kesadaran Publik tentang Kebebasan Beragama
Program nasional harus dilaksanakan untuk mendidik masyarakat dan pejabat pemerintah tentang kebebasan beragama, toleransi, dan pentingnya menjunjung tinggi hak-hak semua agama minoritas.5 Selain itu, peran lembaga hak asasi manusia nasional seperti Komnas HAM perlu diperkuat untuk secara aktif memantau dan mengatasi pelanggaran kebebasan beragama terkait pendirian rumah ibadah.5
8. Kesimpulan
Refleksi atas Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 2025 menjadi momentum krusial untuk mengevaluasi sejauh mana nilai-nilai luhur Pancasila, khususnya Sila Kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” telah terwujud dalam praktik kebebasan beragama di Indonesia. Analisis ini menyoroti keprihatinan serius Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI) terhadap dampak Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, khususnya Pasal 13. Regulasi ini, yang seharusnya memfasilitasi kerukunan, justru terbukti diskriminatif, bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusional dan hak asasi manusia internasional, serta berperan dalam melanggengkan intoleransi.
Studi kasus dan data statistik secara konsisten menunjukkan bahwa persyaratan PBM, seperti aturan 90/60 dan hak veto komunitas, seringkali disalahgunakan sebagai dalih administratif untuk menolak atau menghambat pendirian tempat ibadah bagi kelompok minoritas, terutama komunitas Kristen. Hal ini mencerminkan adanya ketegangan antara cita-cita Pancasila tentang persatuan dalam kebhinekaan dan realitas praktik kebebasan beragama di lapangan. Era digital turut memperumit tantangan ini dengan memfasilitasi penyebaran ujaran kebencian, namun di sisi lain juga menawarkan peluang untuk memperkuat moderasi beragama melalui kampanye dan pendidikan daring.
Untuk mewujudkan masa depan yang lebih adil dan setara, laporan ini menegaskan urgensi pencabutan Pasal 13 PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Perlu dibentuk kerangka regulasi baru yang secara tegas menjunjung tinggi keutamaan hak konstitusional dan hak asasi manusia, menghilangkan persyaratan diskriminatif, dan berfokus pada kriteria administratif dan teknis yang jelas. Selain itu, peran FKUB harus direformasi menjadi fasilitator dan mediator, pemerintah harus secara aktif memfasilitasi proses perizinan, dan mekanisme upaya hukum yang kuat perlu diterapkan. Terakhir, pendidikan dan kesadaran publik tentang kebebasan beragama harus ditingkatkan, didukung oleh penguatan peran lembaga hak asasi manusia nasional.
Rekomendasi ini bukan sekadar reformasi hukum, melainkan upaya untuk menyelaraskan kembali kebijakan negara dengan nilai-nilai fundamental Pancasila. Dengan menerapkan reformasi ini, Indonesia dapat bergerak menuju masyarakat yang lebih adil, harmonis, dan setara, di mana semua komunitas agama dapat berkembang dan hak-hak dasar setiap warga negara benar-benar terjamin, mencerminkan semangat sejati dari Hari Lahir Pancasila.
Daftar Pustaka
- PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 9 TAHUN 2006 NOMOR – Sahabat. Diakses April 4, 2025. https://sahabat.kotabogor.go.id/assets/dokumen/peraturan/Peraturan%20Bersama%20Menag%20No%209%202006%20dan%20Mendagri%20No.%208%202006%20Tentang%20FKUB.pdf.
- Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI). “NASKAH AKADEMIK PERKUMPULAN WARTAWAN GEREJA INDONESIA.” 2025.
- “Sejarah Singkat Lahirnya Pancasila pada Tanggal 1 Juni 1945.” detikNews. 26 Mei 2023. https://news.detik.com/berita/d-6739778/sejarah-singkat-lahirnya-pancasila-pada-tanggal-1-juni-1945.
- “Mengenang Pilar Kesatuan Bangsa Indonesia Melalui Peringatan Hari Lahir Pancasila.” DJKN Kemenkeu. 4 Juni 2023. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kanwil-jabar/baca-artikel/16172/Mengenang-Pilar-Kesatuan-Bangsa-Indonesia-Melalui-Peringatan-Hari-Lahir-Pancasila.html.
- “Pancasila Sebagai Pemersatu Bangsa.” Pemerintah Kabupaten Banyumas. Diakses April 4, 2025. http://kesbangpol.banyumaskab.go.id/page/18056/pancasila-sebagai-alat.
- “PENDAHULUAN.” Jurnal Gema Keadilan. Volume 9 Edisi III, Desember 2022. https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/gk/article/download/16520/8248.
- Mubarok, Akbar Rizquni, dan Sunarto Sunarto. “Moderasi Beragama di Era Digital: Tantangan dan Peluang.” Journal of Islamic Communication Studies (JICoS) Volume 2, Nomor 1, Januari 2024. https://jurnalpps.uinsa.ac.id/index.php/JICOS/article/download/528/262.
- Paujiah, Resti, Hasna Latipah Afifah, Parhan Muhammad, dan Fiqra Muhamad Nazib. “Tantangan Dan Peluang Moderasi Beragama Di Era Digital.” Al-Afif: Journal of Islamic Education. Volume 2, Nomor 1, Januari 2025. https://journal.al-afif.org/index.php/aej/article/download/21/27/210.
- Robikah, Siti, dan Risqo Faridatul Ulya. “Kebebasan Beragama di Era Digital: Analisis Wacana Teun. A Van Dijk dalam Film Bumi itu Bulat.” JRF: Journal of Religion and Film. Volume 2 Nomor 1 2023. https://jrf.dakwah.uinjambi.ac.id/index.php/JRF/article/download/13/12/52.
- “Abstract.” Jurnal PKN. Volume 8, Nomor 1, Januari 2023. https://journal.upy.ac.id/index.php/pkn/article/download/2083/pdf.
- “The Indonesian government has also taken firm steps to eradicate hate speech on social media.” Dawatuna: Journal of Islamic Communication and Broadcasting. Volume 3 Nomor 1 (2023). https://journal.laaroiba.com/index.php/dawatuna/article/download/2364/1666/.
- “II.1.2 Dampak yang Diakibatkan Oleh Ujaran Kebencian.” UNIKOM. Diakses April 4, 2025. https://elibrary.unikom.ac.id/id/eprint/7821/8/UNIKOM_%20Fariz%20Asad_BAB%20II.pdf.
- “mengorbankan keyakinan masing-masing.” ARJI: Academic Research Journal of Islamic. Volume 2, Nomor 1, Januari 2023. https://journal.nahnuinisiatif.com/index.php/ARJI/article/download/267/231/1230.
- “Moderasi Beragama sebagai Solusi Mengatasi Polarisasi Sosial di Indonesia.” Hijratunaa. 14 Maret 2025. https://hijratunaa.com/moderasi-beragama-sebagai-solusi-mengatasi-polarisasi-sosial-di-indonesia/.
Karya yang dikutip
- Sejarah Singkat Lahirnya Pancasila pada Tanggal 1 Juni 1945 – detikNews, diakses Juni 1, 2025, https://news.detik.com/berita/d-6739778/sejarah-singkat-lahirnya-pancasila-pada-tanggal-1-juni-1945
- Pancasila Sebagai Pemersatu Bangsa | Pemerintah Kabupaten Banyumas, diakses Juni 1, 2025, http://kesbangpol.banyumaskab.go.id/page/18056/pancasila-sebagai-alat
- Mengenang Pilar Kesatuan Bangsa Indonesia Melalui Peringatan Hari Lahir Pancasila, diakses Juni 1, 2025, https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kanwil-jabar/baca-artikel/16172/Mengenang-Pilar-Kesatuan-Bangsa-Indonesia-Melalui-Peringatan-Hari-Lahir-Pancasila.html
- PANCASILA SEBAGAI ALAT PEMERSATU BANGSA INDONESIA Jelita Siahaan, Raras Agustina, Reodiva Jonandes, Riska Fitriono Universitas S, diakses Juni 1, 2025, https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/gk/article/download/16520/8248
- NASKAH AKADEMIK PBM – PWGI.pdf
- Dawatuna: Journal of Communication and Islamic Broadcasting – Ujaran Kebencian Terhadap Islam di YouTube di Indonesia Periode Januari-Juni 2021, diakses Juni 1, 2025, https://journal.laaroiba.com/index.php/dawatuna/article/download/2364/1666/
- PENGARUH KEBEBASAN BERPENDAPAT DI SOSIAL MEDIA TERHADAP PERUBAHAN ETIKA DAN NORMA REMAJA INDONESIA – Journal UPY, diakses Juni 1, 2025, https://journal.upy.ac.id/index.php/pkn/article/download/2083/pdf
- 7 bab ii. ujaran kebencian yang mengatasnamakan agama islam di instagram ii.1 – Elibrary Unikom, diakses Juni 1, 2025, https://elibrary.unikom.ac.id/id/eprint/7821/8/UNIKOM_%20Fariz%20Asad_BAB%20II.pdf
- Moderasi Beragama di Era Digital: Tantangan dan Peluang, diakses Juni 1, 2025, https://jurnalpps.uinsa.ac.id/index.php/JICOS/article/download/528/262
- Tantangan Dan Peluang Moderasi Beragama Di Era Digital Resti Paujiah, diakses Juni 1, 2025, https://journal.al-afif.org/index.php/aej/article/download/21/27/210
- 169 Moderasi Beragama Sebuah Solusi dalam Menghadapi Krisis Identitas Agama Religious Moderation as a Solution in Addre, diakses Juni 1, 2025, https://journal.nahnuinisiatif.com/index.php/ARJI/article/download/267/231/1230
Moderasi Beragama sebagai Solusi Mengatasi Polarisasi Sosial di Indonesia – Hijratunaa, diakses Juni 1, 2025, https://hijratunaa.com/moderasi-beragama-sebagai-solusi-mengatasi-polarisasi-sosial-di-indonesia/