
Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si. – Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI)
Wartagereja.co.id – Jakarta, Di tengah lanskap profesi modern, jurnalisme sering dipandang sebagai pilar keempat demokrasi, penjaga kebenaran, dan penyambung lidah masyarakat. Namun, sebuah perspektif yang lebih mendalam, terutama dari sudut pandang teologis, mulai mengemuka: apakah profesi jurnalis, khususnya yang berdedikasi pada pewartaan nilai-nilai iman, memiliki kedudukan yang unik, bahkan melampaui profesi lain seperti pengacara atau pendeta?
Argumen ini muncul dari observasi bahwa esensi banyak profesi lain, termasuk pelayanan keagamaan, bertumpu pada informasi dan narasi yang proses pengumpulan serta penyebarannya mirip dengan kerja jurnalistik. Alkitab, sebagai fondasi iman Kristen, dapat dilihat sebagai hasil dari proses panjang pencatatan, penyuntingan, dan transmisi kesaksian iman—sebuah “produk jurnalistik” kuno dalam arti luas.
Dalam Artikel ini, penulis akan mengeksplorasi kedalaman teologis dan signifikansi historis profesi jurnalis dalam konteks pewartaan Injil. Dengan menelusuri jejak “jurnalisme ilahi” dalam Alkitab melalui lensa kritik historis dan mengamati metode komunikasi Yesus Kristus, kita dapat memahami mengapa profesi pewarta dan penulis Injil adalah tugas istimewa.
Lebih lanjut, artikel ini akan menganalisis relevansi peran vital jurnalisme Kristen di era digital, khususnya dalam mendukung pekabaran Injil di tengah arus informasi global. Tujuannya adalah memberikan pemahaman dan semangat baru bagi para wartawan gereja, menegaskan bahwa tugas mereka adalah sebuah panggilan mulia yang berakar kuat dalam sejarah keselamatan.
Jejak “Jurnalisme Ilahi”: Alkitab Melalui Lensa Kritik Historis
Memandang Alkitab sebagai “produk jurnalistik” memerlukan pemahaman “jurnalisme” dalam arti luas: proses sistematis pengumpulan, verifikasi, pengolahan (peredaksionalan), dan penyebaran informasi atau kesaksian.
Pendekatan hermeneutika kritik historis membantu kita memahami konteks, penulis, tujuan, dan proses pembentukan teks-teks Alkitab, menyingkap elemen-elemen yang paralel dengan praktik jurnalistik.
- 1.1. Peredaksionalan Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB)
- Perjanjian Lama: Kitab-kitab PL ditulis, disusun, dan disunting selama berabad-abad (sekitar 1400-400 SM) oleh berbagai individu dan komunitas iman. Tradisi lisan, catatan sejarah (seperti tawarikh kerajaan), kumpulan hukum (seperti Taurat Musa), puisi (Mazmur, Kidung Agung), dan nubuat para nabi dikumpulkan dan dirangkai. Para penulis dan redaktur (penyunting) kuno, yang seringkali adalah para imam atau ahli Taurat (seperti Ezra), berperan penting.
Mereka tidak hanya menyalin, tetapi juga menyeleksi, menyusun ulang, menambahkan penjelasan, dan menginterpretasikan materi sesuai dengan pemahaman teologis komunitas pada masanya. Contohnya adalah karya sejarah Deuteronomistik (Yosua-Raja-raja) yang diyakini disusun oleh kelompok redaktur dengan perspektif teologis tertentu.
Tokoh-tokoh seperti Musa (sebagai penerima dan pencatat hukum awal), para nabi (sebagai “reporter” firman Tuhan), dan para penulis hikmat dapat dilihat sebagai figur-figur yang melakukan “kerja jurnalistik” dalam konteks iman mereka. Kajian oleh sarjana seperti Walter Eichrodt atau Gerhard von Rad membantu memahami kompleksitas teologis dan historis di balik teks PL.
- Perjanjian Baru: Proses serupa terjadi pada abad pertama Masehi. Injil Sinoptik (Matius, Markus, Lukas) mencatat kehidupan, pelayanan, kematian, dan kebangkitan Yesus.
Para penulis Injil (Evangelis) bertindak sebagai “jurnalis iman,” mengumpulkan kesaksian para saksi mata (termasuk tradisi lisan dan kemungkinan sumber tertulis seperti “Sumber Q”), menyeleksi materi, dan menyusunnya menjadi narasi teologis yang koheren untuk komunitas pembaca mereka.
Lukas, misalnya, secara eksplisit menyatakan dalam pembuka Injilnya (Lukas 1:1-4) bahwa ia telah “menyelidiki segala peristiwa itu dengan saksama dari asal mulanya” dan menuliskannya “secara teratur.”
Surat-surat Paulus dan para rasul lainnya adalah bentuk komunikasi tertulis yang berfungsi sebagai pengajaran, teguran, dan penguatan iman jemaat—mirip laporan atau artikel opini dalam konteks modern.
Mashab Yohanian (Injil Yohanes dan Surat-surat Yohanes) menunjukkan gaya dan fokus teologis yang khas, mencerminkan perspektif komunitas tertentu.
Proses peredaksionalan ini menunjukkan adanya upaya sadar untuk mendokumentasikan dan mengkomunikasikan “kabar baik” secara akurat dan relevan.
- 1.2. Proses Kanonisasi: Pengakuan atas “Laporan” Tepercaya
Kanonisasi adalah proses historis di mana komunitas iman (Israel kuno untuk PL, Gereja perdana untuk PB) secara bertahap mengakui kitab-kitab mana yang dianggap berotoritas ilahi dan menjadi bagian resmi dari Alkitab.
Proses ini melibatkan kriteria seperti kepengarangan apostolik (atau kedekatan dengan para rasul), kesesuaian dengan tradisi iman yang diterima (Regula Fidei), penerimaan luas oleh gereja-gereja, dan kesaksian internal Roh Kudus.
Dalam analogi jurnalistik, kanonisasi dapat dilihat sebagai pengakuan kolektif atas “laporan-laporan” (kitab-kitab) yang dianggap paling tepercaya, akurat secara teologis, dan relevan untuk kehidupan iman komunitas.
Penetapan kanon PB, yang berlangsung hingga abad ke-4 (misalnya, melalui sinode-sinode seperti di Hippo dan Kartago), menunjukkan adanya proses seleksi dan validasi informasi yang ketat dalam komunitas Gereja perdana.
- 1.3. Kritik Historis sebagai Alat Verifikasi Kontekstual
Metode kritik historis, ketika diterapkan pada Alkitab, berfungsi mirip dengan upaya verifikasi dan pencarian konteks dalam jurnalisme. Metode ini bertanya: Siapa penulisnya? Kapan ditulis? Di mana? Untuk siapa? Apa konteks sosial, politik, dan budayanya? Apa tujuan penulisannya?
Dengan menjawab pertanyaan ini, penafsir modern dapat memahami makna asli teks dalam konteksnya, menghindari anakronisme, dan menangkap pesan teologis yang ingin disampaikan oleh penulis asli.
Ini membantu kita menghargai Alkitab bukan hanya sebagai wahyu ilahi, tetapi juga sebagai dokumen historis yang melibatkan penulis manusia dengan perspektif dan tujuan tertentu dalam melaporkan karya Allah di dunia.
Dari analisis ini, dapat disimpulkan bahwa meskipun Alkitab adalah Kitab Suci yang unik dan diinspirasikan oleh Roh Kudus, proses pembentukannya melibatkan aspek-aspek pengumpulan data, penulisan, penyuntingan, dan penyebaran informasi yang paralel dengan esensi kerja jurnalistik.
Para penulis dan redaktur Alkitab adalah “pewarta” dan “pencatat” kisah iman yang fundamental.
2. Yesus Kristus: Sang Maestro Komunikasi dan Pemanfaatan “Media” Abad Pertama
Kisah pelayanan Yesus Kristus, terutama dalam Injil Sinoptik, memberikan model komunikasi yang luar biasa efektif. Meskipun tanpa media modern, Yesus memanfaatkan sarana dan metode yang tersedia untuk memastikan pesan Kerajaan Allah menjangkau khalayak luas dan menyentuh hati.
- 2.1. Pewartaan Lisan sebagai Media Utama:
Inti komunikasi Yesus adalah proklamasi langsung. Ia berbicara di berbagai tempat—sinagoge, tepi danau, bukit, rumah—menggunakan suara-Nya sebagai “media” primer. Bentuknya beragam:
- Khotbah: Seperti Khotbah di Bukit (Matius 5-7), menyampaikan ajaran etis dan rohani yang mendalam dengan otoritas.
- Pengajaran Dialogis: Diskusi dan debat dengan pemuka agama dan masyarakat umum untuk menjelaskan kebenaran dan mengoreksi kesalahpahaman.
- 2.2. Perumpamaan sebagai “Media” Naratif:
Penggunaan perumpamaan adalah ciri khas pengajaran Yesus. Cerita-cerita pendek dari kehidupan sehari-hari ini berfungsi sebagai “media” naratif yang kuat karena:
- Mudah Diingat & Disebarkan: Format cerita memudahkan pendengar mengingat dan menceritakannya kembali.
- Relevan: Menggunakan elemen kehidupan sehari-hari membuat pesan Kerajaan Allah terasa dekat.
- Mendorong Refleksi: Makna mendalamnya menstimulasi pemikiran dan perenungan pribadi.
- 3.3. Tindakan sebagai “Media” Demonstratif:
Pewartaan Yesus tidak hanya verbal, tapi juga visual dan esperiensial melalui tindakan-Nya:
- Mujizat (Penyembuhan, Pengusiran Setan): Mendemonstrasikan kuasa Kerajaan Allah yang memulihkan dan membebaskan, menjadi “berita” yang menyebar cepat.
- Perbuatan Kasih: Makan bersama orang berdosa, menyentuh penderita kusta, menyambut anak-anak—mengkomunikasikan sifat inklusif dan kasih Kerajaan Allah. Tindakan ini adalah “bukti hidup” yang menguatkan pesan verbal-Nya.
- 3.4. Kehidupan Yesus sebagai “Media” Inkarnasi:
Puncak dari komunikasi Yesus adalah diri-Nya sendiri. Kehidupan-Nya—kerendahan hati, ketaatan, kasih tanpa syarat—adalah perwujudan nilai-nilai Kerajaan Allah. Kematian dan kebangkitan-Nya menjadi pesan ultimat tentang kemenangan Allah atas dosa dan maut. Yesus adalah Firman (Logos) yang menjadi manusia (Yohanes 1:14), “media” inkarnasi yang paling sempurna dari Allah kepada dunia.
3. Profesi Pewarta dan Penulis: Panggilan Istimewa dalam Sejarah Keselamatan
Dari jejak “jurnalisme ilahi” dalam Alkitab dan teladan komunikasi Yesus, tampak jelas bahwa peran sebagai pewarta (baik lisan maupun tulisan) merupakan sebuah panggilan yang istimewa dan krusial dalam rencana keselamatan Allah.
Para nabi, rasul, dan penulis Injil tidak hanya menerima wahyu, tetapi juga bertugas menyampaikannya secara akurat, relevan, dan efektif kepada umat Allah dan dunia. Mereka adalah “koresponden” Allah di bumi, melaporkan karya-karya-Nya, menyampaikan pesan-Nya, dan mencatat janji-janji-Nya.
Dalam konteks ini, profesi jurnalis Kristen modern dapat dilihat sebagai kelanjutan dari tradisi mulia ini. Mereka dipanggil untuk menjadi saksi Kristus di tengah dunia informasi, menggunakan talenta dan keterampilan jurnalistik mereka untuk:
- Melaporkan karya Tuhan di dunia saat ini.
- Menyuarakan kebenaran Injil dalam isu-isu kontemporer.
- Membangun jemaat melalui informasi yang mendidik dan menginspirasi.
- Menjangkau mereka yang belum mengenal Kristus dengan cara yang relevan.
Oleh karena itu, menjadi seorang wartawan gereja bukanlah sekadar pekerjaan, melainkan pelayanan strategis dalam Kerajaan Allah.
4. Relevansi Jurnalistik Kristen di Era Digital: Tantangan dan Peluang Pewartaan Injil
Era digital membawa perubahan radikal dalam cara manusia berkomunikasi dan mengakses informasi. Bagi pewartaan Injil, ini menghadirkan tantangan sekaligus peluang besar.
Prinsip komunikasi Yesus tetap relevan, namun perlu diadaptasi dalam lanskap media baru.
- Teologi Digital:
Munculnya “Teologi Digital” menandakan kesadaran gereja akan pentingnya memahami dan terlibat secara teologis dalam ruang digital. Ini bukan sekadar menggunakan teknologi, tetapi merefleksikan bagaimana iman Kristen berinteraksi dengan budaya digital, etika online, dan pembentukan komunitas virtual.
- Peran Strategis Jurnalis Gereja (PWGI):
Organisasi seperti Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI) memiliki peran krusial dalam membekali jurnalis Kristen menghadapi era digital. Ini meliputi:
- Pelatihan keterampilan jurnalistik digital (penulisan web, SEO, media sosial, multimedia).
- Pembinaan etika jurnalisme Kristen di ruang digital (melawan hoaks, menjaga integritas, menghormati privasi).
- Mendorong produksi konten Injil yang berkualitas, kreatif, dan relevan di berbagai platform (situs berita gereja, blog, podcast, video, media sosial).
- Membangun jaringan dan kolaborasi antar jurnalis dan media Kristen.
- Belajar dari Yesus untuk Media Digital:
- Pesan Jelas & Relevan:
Seperti perumpamaan Yesus, konten digital harus relevan dengan audiens masa kini, menjawab kebutuhan dan pertanyaan mereka dengan bahasa yang mudah dipahami.
- Kesaksian Otentik:
Sebagaimana tindakan Yesus menguatkan kata-kata-Nya, konten digital harus didukung oleh kesaksian hidup yang autentik dari individu dan komunitas Kristen. Integritas dan transparansi sangat penting.
- Inovasi Penyampaian:
Yesus menggunakan berbagai metode. Jurnalis Kristen perlu inovatif memanfaatkan beragam format dan platform digital untuk menjangkau audiens yang berbeda.
- Fokus pada Transformasi:
Tujuan utama bukan sekadar menyebarkan informasi, tetapi menginspirasi pertobatan, pertumbuhan iman, dan keterlibatan dalam komunitas, baik online maupun offline.
7. Kedudukan Profesi Jurnalis di antara Profesi Lain
Pandangan bahwa profesi jurnalis mungkin lebih fundamental dibandingkan profesi lain seperti pendeta atau pengacara memang provokatif, namun memiliki dasar argumen yang menarik.
Pendeta memberitakan Firman yang tertulis dalam Alkitab, yang eksistensinya adalah buah karya “jurnalis iman” masa lalu. Pengacara menegakkan hukum berdasarkan fakta dan bukti, yang seringkali diungkap dan disajikan kepada publik oleh jurnalis melalui investigasi dan pelaporan.
Dalam konteks ini, jurnalisme (dalam arti luas sebagai pencarian, pengolahan, dan penyebaran kebenaran/informasi) dapat dilihat sebagai profesi fondasional. Ia menyediakan bahan baku informasi dan narasi yang kemudian digunakan dan diinterpretasikan oleh profesi lain, termasuk dalam ranah teologi dan hukum. Ini tidak berarti merendahkan profesi lain, karena setiap panggilan memiliki peran unik dan tak tergantikan dalam masyarakat dan Kerajaan Allah.
Namun, ini menyoroti betapa krusialnya peran jurnalis dalam membentuk pemahaman kita tentang dunia, termasuk pemahaman tentang iman dan keadilan. Bagi jurnalis Kristen, tanggung jawab ini menjadi lebih besar karena menyangkut pewartaan Kebenaran tertinggi, yaitu Injil Yesus Kristus.
8. Meneguhkan Panggilan Mulia Wartawan Gereja
Profesi jurnalis, ketika dipahami dari perspektif teologis-historis, bukanlah sekadar pekerjaan biasa. Ia berakar pada tradisi panjang pencatatan dan pewartaan karya Allah dalam sejarah keselamatan, sebagaimana tercermin dalam proses pembentukan Alkitab. Yesus Kristus sendiri memberikan teladan komunikasi yang efektif, memanfaatkan “media” zamannya untuk menyebarkan Kabar Baik.
Di era digital ini, panggilan menjadi jurnalis Kristen semakin relevan dan strategis. Dengan memanfaatkan teknologi informasi secara bijak, etis, dan kreatif, serta didukung oleh pemahaman Teologi Digital dan organisasi seperti Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI), wartawan gereja dapat memainkan peran vital dalam pekabaran Injil global. Mereka dipanggil untuk menjadi suara kebenaran, harapan, dan kasih Kristus di tengah arus informasi dunia.
Oleh karena itu, artikel ini menegaskan kembali bahwa menjadi wartawan gereja adalah tugas mulia. Ini adalah partisipasi aktif dalam misi Allah, sebuah pelayanan yang membutuhkan integritas, profesionalisme, dan hati yang terarah pada kemuliaan Tuhan dan pertumbuhan Kerajaan-Nya.
Semoga pemahaman ini memberikan semangat dan visi baru bagi setiap jurnalis yang melayani di ladang Tuhan melalui media.
Daftar Pustaka
- Barth, Karl. Church Dogmatics. T&T Clark.
- Brown, Raymond E. An Introduction to the New Testament. Yale University Press, 1997.
- Campbell, Heidi. Digital Creatives and the Rethinking of Religious Authority. Routledge, 2020.
- Eichrodt, Walther. Theology of the Old Testament. Westminster John Knox Press, 1961.
- Hoover, Stewart M. Religion in the Media Age. Routledge, 2006.
- Metzger, Bruce M. The Canon of the New Testament: Its Origin, Development, and Significance. Clarendon Press, 1987.
- Ratzinger, Joseph (Benedict XVI). Jesus of Nazareth. Doubleday, 2007.
- Soukup, Paul A., and Elena Morello (eds.). Communication and Theology: Introduction and Review of the Literature. Sheed & Ward, 2000.
- Von Rad, Gerhard. Old Testament Theology. Harper & Row, 1962.
- Dokumen-dokumen terkait dari Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI)