
Pdt. Dr. K.R.T. Sugeng Prihadi, S.Th., M.Th., M.Min.
Oleh : Pdt. Dr. K.R.T. Sugeng Prihadi, S.Th., M.Th., M.Min.
Pendahuluan
Dalam era disrupsi informasi yang ditandai oleh maraknya disinformasi, polarisasi opini publik, dan tekanan komersial terhadap media, jurnalisme tetap menjadi pilar strategis dalam menjaga integritas sosial dan memperjuangkan kebenaran. Dalam konteks gerejawi, peran jurnalis memiliki dimensi spiritual yang khas: ia bukan hanya pengelola informasi, tetapi juga komunikator iman, penjaga moralitas publik, dan saksi kebenaran teologis.
Kode etik jurnalis gereja lahir dari irisan antara etika jurnalistik dan prinsip moralitas Kristen. Maka dari itu, jurnalisme gereja memikul tanggung jawab ganda: profesionalisme media dan kesetiaan pada Injil. Tulisan ini menguraikan prinsip-prinsip etika dasar yang menjadi fondasi jurnalisme gereja, serta implikasinya dalam praktik profesional sehari-hari.
1. Hakikat Jurnalisme Gereja
1.1 Definisi dan Fungsi
Jurnalisme gereja adalah praktik komunikasi massa yang berakar pada spiritualitas kristiani dan dilaksanakan dalam ruang lingkup gerejawi. Fungsinya tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk kesadaran iman umat dan meneguhkan persekutuan.
Menurut Gustavo Gutiérrez (2006), jurnalis gereja adalah komunikator iman, yang menyampaikan narasi-narasi Kristiani dalam format yang relevan secara sosial dan teologis. Hal ini diperkuat oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Redemptoris Missio (1990), yang menyebut media sebagai “areopagus modern” – arena kontemporer di mana Injil harus dikomunikasikan secara kreatif dan kontekstual.
1.2 Tantangan Kekinian
Era digital membawa tantangan baru. Manuel Castells (2009) dalam Communication Power menyebut media sebagai medan kuasa yang dapat digunakan untuk emansipasi atau manipulasi. Dalam konteks gereja, tantangan terbesar adalah menjaga integritas informasi di tengah derasnya arus hoaks, clickbait, dan propaganda ideologis. Di sinilah signifikansi etika jurnalistik berbasis iman menjadi sangat mendesak.
2. Prinsip-Prinsip Kode Etik Jurnalis Gereja
2.1 Kebenaran dan Objektivitas
Kebenaran adalah nilai sentral dalam jurnalisme. Namun, dalam jurnalisme gereja, kebenaran juga berakar pada Wahyu Ilahi. Thomas Hanitzsch (2007) menekankan bahwa objektivitas jurnalistik bukan hanya netralitas, tetapi keterikatan pada akurasi, relevansi, dan tanggung jawab sosial. Dalam terang iman, kebenaran adalah suatu “keberanian untuk menyuarakan suara kenabian” (Yeremia 1:7–9).
2.2 Integritas dan Transparansi
Integritas mencakup ketulusan niat, kejujuran profesional, dan konsistensi etika. Rasul Paulus menegaskan prinsip ini dalam 2 Korintus 4:2: “Kami menolak segala cara yang memalukan, tidak berlaku licik dan tidak memalsukan firman Allah.” Jurnalis gereja harus bersikap jujur, menghindari manipulasi informasi, serta menjunjung tinggi prinsip transparansi dalam seluruh proses jurnalistiknya.
2.3 Kasih dan Keadilan
Teolog Paul Tillich (1954) menekankan pentingnya kasih sebagai dasar etika sosial. Dalam komunikasi gerejawi, berita harus disampaikan dengan semangat membangun, bukan menjatuhkan; menyembuhkan, bukan melukai. Jurnalisme gereja harus menghindari sensasionalisme dan lebih menekankan aspek restoratif.
2.4 Perlindungan Martabat Manusia
Mengacu pada Katekismus Gereja Katolik (KGK 2494), hak atas informasi harus sejalan dengan penghormatan terhadap martabat manusia. Jurnalis gereja wajib menghindari eksploitasi narasumber, terutama kelompok rentan seperti korban kekerasan, minoritas, atau masyarakat marginal.
2.5 Komitmen terhadap Gereja dan Pelayanan Pastoral
Jurnalis gereja bukan corong propaganda institusional, melainkan mediator antara hierarki dan umat. Seperti ditegaskan dalam dokumen Communio et Progressio (1971), peran media gereja adalah memperkuat persekutuan dan memperluas pelayanan pastoral, dalam semangat sinodalitas dan dialog.
3. Implementasi Kode Etik dalam Praktik Jurnalistik
3.1 Penulisan Berita
Setiap laporan harus berakar pada verifikasi yang mendalam, sensitif terhadap makna teologis, dan mampu membangun spiritualitas pembaca. Bahasa jurnalistik gereja hendaknya komunikatif namun teologis, inspiratif namun faktual.
3.2 Wawancara dan Peliputan
Etika wawancara menuntut persetujuan yang sadar (informed consent), kejujuran dalam niat, serta penghargaan terhadap konteks doktrinal Gereja. Jurnalis tidak boleh mengeluarkan kutipan yang dipotong sehingga menyesatkan publik.
3.3 Pelaporan Skandal dan Isu Sensitif
Dalam melaporkan kasus sensitif, prinsip keadilan restoratif dan penggembalaan pastoral harus diutamakan. Seperti yang diajarkan Yesus dalam Matius 18:15–17, konfrontasi terhadap kesalahan harus dilakukan dengan tujuan pemulihan, bukan penghukuman publik semata.
4. Studi Kasus dan Refleksi
Beberapa kegagalan etis terjadi ketika jurnalis gereja menerbitkan laporan yang tidak diverifikasi, menambah luka dalam konflik. Sebaliknya,para jurnalis Kristen menunjukkan praktik etis dengan menekankan prinsip dialog, keakuratan, dan kasih dalam menyampaikan berita.
5. Kesimpulan
Kode etik jurnalis gereja adalah refleksi dari spiritualitas profesi komunikasi. Dalam dunia yang penuh kebisingan, jurnalis gereja dipanggil menjadi “garam dan terang dunia” (Mat 5:13–14), menghadirkan informasi yang mencerahkan dan membebaskan. Dengan menjunjung tinggi kebenaran, kasih, dan keadilan, jurnalis gereja menjadi agen transformasi sosial dan pewarta harapan dalam dunia yang haus akan makna dan keutuhan.
Daftar Pustaka
- Castells, M. (2009). Communication Power. Oxford University Press.
- Gutiérrez, G. (2006). Teologi Pembebasan: Perspektif Iman dalam Konteks Sosial. Penerbit Kanisius.
- Hanitzsch, T. (2007). “Deconstructing Journalism Culture: Toward a Universal Theory”. Communication Theory, 17(4), 367–385.
- Katekismus Gereja Katolik. (1994). Libreria Editrice Vaticana.
- Paulus, Yohanes II. (1990). Redemptoris Missio. Vatikan.
- Tillich, P. (1954). Love, Power, and Justice: Ontological Analyses and Ethical Applications. Oxford University Press.
- Communio et Progressio. (1971). Komisi Kepausan untuk Komunikasi Sosial, Vatikan.